25 Juli 2007

Makna dan Legenda Barongsai

Tercipta akibat Akulturasi Budaya

Oleh : Suganda Satyaguna *)

PERTUNJUKAN tari Singa atau Barongsai yang kian marak merupakan khas budaya etnis Tionghoa. Tak dapat dipungkiri bahwa kesenian Barongsai ini sangat banyak disukai dan mampu menarik perhatian penonton. Pada masa kampanye Pemilu'99 yang baru lalu banyak partai-partai politik menggunakan Barongsai sebagai daya tarik kampanye.

Kesenian ini jelas berasal dari negeri Tiongkok yang kemudian dibawa ke berbagai pelosok dunia olep para imigran Tionghoa, termasuk ke Nusantara pada masa yang lampau. Namun sayang sekali informasi mengenai asal-usul, makna, maupun legenda mengenai kesenian Barongsai ini sangat minim, sehingga timbul berbagai penafsiran atau kesimpang-siuran.

Berbicara mengenai kesenian Barongsai tentu tak lepas dari kata kesenian yang merupakan bagian dari kebudayaan. Namun sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kiranya kita memahami definisi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diolah dalam pikiran, diwujudkan dalam perilaku benda yang dihasilkan.

Jadi Barongsai merupakan cermin dari pola pikir orang Tionghoa yang terwujud dalam pertunjukan kesenian Barongsai. Namun bagaimana sesungguhnya pola pikir orang Tionghoa itu?

Menurut Wu Chenxu, Guo Licheng dan Ye Deming dalam bukunya Zhongguo de Fengsu Xiguan (Taipei 1977) menyatakan bahwa bangsa Tionghoa adalah bangsa yang mengutamakan kebersamaan dan tidak bersifat individualis.

Seorang bijak pada masa Tiongkok kuno mengatakan bahwa bila ingin hiburan, maka bersenang-senanglah tetapi usahakanlah agar jangan sendirian, tetapi bersama-sama orang lain. Bermain Barongsai jelas merupakan suatu hiburan, tetapi tak mungkin dilakukan sendirian. Permainannya juga dilakukan bersama-sama dan butuh kerja sama yang baik.

Bila ada seorang pemain yang kurang bisa mengimbangi akan mempengaruhi gerakan orang lain. Jadi Barongsai memadukan kebersamaan antar pemain dan juga hiburan bagi semua orang Tionghoa dan kaum keturunannya di seluruh dunia. Barongsai sendiri berasal dari kata Barong dan Sai.

Secara umum mungkin kita dapat menduga bahwa terdapat hubungan antara kata Barong yang ada di pulau Bali. Keduanya mempunyai perwujudan dan kemiripan. Kesimpulannya bahwa Barong berasal dari bahasa Indonesia dan kata Sai dalam bahasa Tionghoa dialek Fujian (Hokkian) berarti Singa.

Terlihat jelas bahwa telah terjadi akulturasi Budaya dibidang bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Tionghoa dalam dialek suku Hokkian. Ini dapat dimengerti karena bangsa Tionghoa yang datang ke Indonesia sekitar abad 16 adalah dari suku Hokkian. (Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta 1970). Sedangkan sejak kapan, dimana,
dan bagaimana kata Barongsai ini mulai digunakan, masih perlu diteliti oleh pakar Antropologi Budaya.

Dalam bahasa Tionghoa Nasional atau Guoyu atau Mandarin, Barongsai disebut Shi Wu (tari Singa). Legenda Barongsai juga terdiri dari beberapa versi. Pertunjukan aliran apapun dari Barongsai senantiasa menampilkan adegan Barongsai mengejar bola warna merah.

Penampilan pertunjukan Barongsai biasanya dilakukan pada akhir penutupan tahun baru Imlek, yaitu tanggal 15 dan 1 menurut penanggalan Tionghoa tradisional penanggalan candra sangkala. Di klenteng-klenteng, kuil, maupun vihara dikunjungi umatnya berpuja bakti dan merayakan festival Cap Go Meh.

Pada festival ini ditampilkan berbagai pertunjukan kesenian dan salah satunya kesenian Barongsai. Semarak bunya petasan juga menambah meriah suasana. Atraksi Barongsai di tengah suasana Cap Go Meh sangat meriah dibandingkan saat suasana lain. Atraksi Barongsai keliling desa biasanya diiringi dengan keahlian para pemain. Di hampir setiap pintu rumah, Barongsai datang memberi hormat dan tuan rumah menyambutnya. Biasanya tuan rumah sering memberi ang pau (amplop merah berisi uang) sebagai tanda terima kasih atas kunjungannya.

Barongsai juga merupakan makhluk Adi Kodrati yang dapat memberi kemakmuran dan kebahagiaan. Namun seiring perkembangan zaman yang begitu pesat, atrasi Barongsai banyak yang dimodifikasi. ***

Diposting pada 1 Februari 2000

Suganda Satyaguna, dosen Fakultas Sastra Universitas Dharma Persada
Jakarta

Tidak ada komentar: