Demokrasi dan Sentimen Anti China
Oleh : DR.Wong Chin Na, SE,Ak,MBA
PENGANTAR
TULISAN ini dibuat pada awal Januari 1998, ketika rejim Soeharto masih berkuasa dan kerusuhan anti
Untuk memeriahkan forum t-net, saya kirimkan kembali tulisan ini dengan sedikit catatan tambahan. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua.
Penulis, Wong CN.
______________________________________________________________________
Awal Januari 1998
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
Polemik masalah
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memojokkan salah satu pihak, tetapi ingin mengemukakan suatu hasil analisis yang ditinjau dari berbagai sudut pandang yang berkaitan dengan ruang lingkup berbangsa dan bernegara. Mohon tanggapan dari pihak-pihak yang kompeten baik dari kalangan pribumi maupun non pribumi, untuk secara dewasa mengusahakan bagaimana mengatasi masalah sentimen rasial ini demi mencegah timbulnya kerugian yang tidak perlu dari kedua belah pihak.
Pihak yang kompeten untuk mengatasi masalah ini adalah mereka yang saat ini menjadi pemimpin suatu organisasi masa, tokoh-tokoh masyarakat, dosen-dosen, mahasiswa, dan anggota masyarakat yang mempunyai cita-cita luhur tehadap persatuan dan kesatuan bangsa. Pihak-pihak yang sekedar ingin mengumbar rasa ketidak puasannya, dimohon dengan hormat untuk tidak membuat tulisan-tulisan yang akan memperparah situasi yang sudah rawan ini.
DEMOKRASI DAN SENTIMEN ANTI CHINA
Berdasarkan pengalaman saya selama ini yang mengalami hidup dalam 2 rejim yang berbeda, Orde Lama dan Orde Baru, akar permasalahan sentimen anti China terletak pada pemerintah sendiri. Pada masa pemerintahan Bung Karno, walaupun hidup kita secara ekonomi relatif susah, tetapi kehidupan politik masyarakat saya rasakan lebih demokratis dibandingkan masa pemerintahan Pak Harto sekarang ini (awal 1998 - pen) yang cenderung diskriminatif dan korup.
Pada masa pemerintahan Bung Karno, cukup banyak warga keturunan
Saat itu, walaupun sentimen anti
Sepanjang masa pemerintahan Pak Harto tidak pernah terdengar seorang warga keturunan
Sebagai pembenaran atas ketidak benaran yang terjadi, diperkenalkan teori proporsional oleh orang-orang tertentu yang saat ini memegang jabatan penting di pemerintahan, yang intinya tidak berbeda dengan meniupkan rasialisme di antara suku-suku yang ada di
MUSUH BERSAMA.
Dari sini dapat diambil suatu dugaan kuat bahwa terdapat korelasi erat antara pemerintah yang demokratis dengan sentimen anti rasial, khususnya sentimen anti
Sejak awal Orde baru, pemerintahan Pak Harto juga cenderung bermuka dua, di mana secara administratif pemerintah tetap membedakan warga pribumi dan non pribumi
dengan alasan yang macam-macam, tetapi dalam pidato-pidato resmi pemerintah menyatakan tidak pernah membedakan warga negara berdasarkan keturunannya.
Hal yang sama berlaku juga untuk agama yang harus dicantumkan dalam KTP masing-masing, yang sudah pasti ada maksud tertentu daripada hanya sekedar data statistik semata-mata.
Demikian juga dengan kampanye anti korupsi, di mana yang paling gencar berkampanye justru orang yang paling rakus melakukan korupsi dan komersialisasi jabatan. Agar uang hasil korupsi tidak dapat ditelusuri asal-usulnya, sebagian di tanam di bank-bank luar negeri, sebagian lagi di investasikan dalam perusahaan. Karena dasarnya para koruptor ini tidak pernah mengerti business, diangkatlah orang-orang keturunan
berpengalaman dalam business sebagai bonekanya.
Dengan cara ini, maka orang-orang keturunan
Usulan dari pihak-pihak tertentu untuk memasukkan azas pembuktian terbalik dalam UU Perpajakan yang sekaligus dapat mengusut sumber kekayaan yang dimiliki seseorang, ditolak mentah-mentah oleh pihak yang berkuasa dengan alasan yang tidak masuk akal. Penolakan ini dapat dimengerti, karena tidak beda dengan membuat jebakan untuk dirinya sendiri. Dengan azas pembuktian terbalik, maka uang hasil korupsi yang tidak pernah dibayar pajak penghasilannya otomatis akan terjerat.
EVOLUSI BOSS BONEKA.
Orang-orang keturunan
Dengan berkembangnya perusahaan-perusahaan boneka tersebut, membuka kesempatan kepada para pengusaha kecil untuk menjadi pemasok. Orang-orang keturunan
menjadi perusahaan-perusahaan baru berskala menengah yang tersebar dimana-mana.
Perlu dicatat, bahwa pada dasarnya warga keturunan
Nalar sehat membuktikan, bahwa hampir semua boss kenyataannya tidak pernah berhubungan langsung dengan para pemasok, yang melakukan transaksi sehari-hari dengan pemasok adalah pegawainya yang sebagian besar adalah pribumi. Sejalan dengan pemerataan yang diartikan secara keliru, pimpinan-pimpinan daerahpun meniru apa yang dilakukan oleh pemimpin pusat.
Maka di daerahpun bermunculan pula boss-boss boneka yang sebagian besar warga keturunan
Kalau hanya dilihat dari sudut pandang ini, maka tidak heran kalau banyak warga pribumi khususnya yang kurang memahami akar permasalahan yang sebenarnya beranggapan bahwa para pengusaha
Secara manusiawi warga keturunan
para koruptor penyandang dana yang berada di balik layar.
Namun dalam hal ini perlu diingat, bahwa tidak semua pengusaha keturunan
Kalau perusahaan yang bersangkutan didirikan sebelum Orde baru, kemungkinan besar perusahaan ini adalah perusahaan yang benar-benar berdiri atas jerih payahnya sendiri. Sebaliknya perusahaan yang didirikan setelah Orde Baru terutama yang dalam waktu singkat berkembang sangat fantastis, kemungkinan adalah hasil kolusi dengan oknum pejabat melalui berbagai cara.
Secara politis pemerintah mengakui bahwa pengusaha non pribumi sengaja diberi fasilitas khusus mengingat kemampuan businessnya yang diharapkan dapat dijadikan pionir untuk memajukan perekonomian negara, yang pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja. Memang akhirnya mereka mampu memberikan lapangan kerja yang cukup besar bagi masyarakat luas, namun sebenarnya mereka tidak pernah diberi fasilitas khusus (kecuali yang dijadikan boneka oleh para koruptor).
Fasilitas yang tersedia akan diberikan kepada siapa saja, baik pengusaha asing maupun pengusaha dalam negeri - pribumi ataupun non pribumi - sepanjang mereka mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Untuk pengusaha asing disediakan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan untuk pengusaha dalam negeri disediakan UU No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Beberapa pengusaha besar dari kalangan pribumi yang sukses antara lain Bakrie, Sahid, Jusuf Kalla, dsb. Fasilitas yang diberikan melalui kedua UU tersebut sebenarnya hal-hal yang wajar yang diperlukan dalam investasi, yang di negara lain tidak dianggap sebagai sesuatu yang istimewa (ingat dalam masa Orde Lama Indonesia tertutup untuk investasi asing dan modal besar). Tanpa fasilitas ini, tidak akan ada investor asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia.
Fasilitas khusus yang sering dipublikasikan pemerintah seolah-olah diberikan kepada pengusaha non-pribumi, sebenarnya hanya diberikan secara terbatas kepada pihak keluarga sendiri seperti : Tutut, Tomy, Bambang, Sigit, Titik, Mamiek, Probosutedjo, dan Sudwikatmono. Ingat proyek jalan tol nya Tutut, monopoli cengkehnya Probosutedjo yang kemudian direbut Tomy, Mobnas-nya Tomy, listriknya Bambang, dan lain-lain yang terlalu panjang untuk diuraikan semuanya di sini.
Diposting pada 28 November 1999
Bersambung ke bagian 2.