25 Juli 2007

Sejarah dan Tradisi Perayaan Imlek

Dirayakan Sejak Kaisar Chin Che Huang

Dewa
dewa@zxmail.com

PERAYAAN tahun baru penanggalan Imlek hanya tinggal sepuluh hari lagi, memasuki tanggal 1 bulan 1 tahun 2551 imlek. Warga Tionghoa akan merayakan kedatangan tahun baru kali ini dengan Shio Naga. Di pasar-pasar sudah mulai terlihat aksesoris, yang menjadi ciri khas perayaan tahun baru Imlek tersebut, seperti kartu tahunbaru, lampion, mercon, kue keranjang bulat, jeruk bali, bunga bue imitasi dan berbagai aksessoris lainnya.

Dari kitab-kitab tua berbahasa mandarin, bahwa perayaan tahun baru Imlek bukanlah tradisi sekarang, akan tetapi sudah diwariskan ratusan tahun yang lalu. Dan perayaan itu awalnya dimulai dari daratan Tiongkok, seperti yang ditulis DR Kai Kuok Liang, dalam bukunya berjudul: Festival Tradisi Budaya Tionghoa.

"Memang banyak versi yang menceritakan awal tradisi perayaan tahun baru Imlek, sesuai dengan daerah asalnya, namun yang lebih populer yakni dimulai pada masa Kaisar Chin Che Huang (246-210 BC)," ujar tokoh Tionghoa Pontianak, Lie Sau Fat (XF Asali) pada kemarin di harian lokal yang sempat saya kutip.

Dijelaskan Asali, tahun baru Imlek dirayakan di daratan Tiongkok sudah sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan ada versi lain yang menyebutkan sebelum Kaisar Chin Che Huang pun sudah dirayakan, hanya masih belum merata di masyarakat, antara lain pada masa Huang Ti Yu (2698 BC). Hanya pada masa Kaisar Chin Che Huang, sudah merata di masyarakat Tiongkok, dengan semangat persatuan dan kesatuan.

Dan pada masa revolusi Xin-Hai, tanggal 10 Oktober 1911 yang dicetuskan oleh DR Sun Yat Sen, yang terkenal dengan ideologinya San Min Cu I (three principles of the people) yang mengubah perayaan tahun baru imlek menjadi Festival Musim Semi (Kuo Chun Ciek). Bahkan, festival ini resmi ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari besar nasional, yang akan dirayakan setiap tahun. Dan tahun baru imlek dirayakan secara resmi mengikuti tahun baru masehi.

Walaupun sudah dirubah namanya sejak tahun 1911, lantaran perayaan tahun baru Imlek sudah memasyarakat, sudah membudaya ribuan tahun di masyarakat, yang dirayakan turun temurun, sehingga perayaan tahun baru Imlek tetap dilangsungkan. Sementara perayaan tahun baru masehi, tidak semeriah tahun baru Imlek disaat itu.

Dan sampai sekarang pun, perayaan tahun baru Imlek tersebut masih meriah dilaksanakan, termasuk di kalangan masyarakat Tionghoa di daerah ini. Yang saat sekarang sudah mulai terasa persiapan-persiapan perayaan tahun baru Imlek. Kartu-kartu ucapan selamat dengan berbagai model sudah dipajang di toko-toko, termasuk aksesoris lainnya. Hanya untuk buah jeruk bali, masih belum terasa lonjakan perdagangannya, kecuali sepekan menjelang perayaan imlek.

Pergantian tahun kali ini, yang akan memasuki tahun sio naga (emas), sudah bermunculan buku-buku tafsiran peruntungan dalam tahun naga tersebut. Memang, ada beberapa sio di tahun ini yang harus waspada dengan peruntungan yang tidak baik atau tidak menyenangkan. Dan ada juga yang bergembira dengan kedatangan tahun baru ini.

MERCON MENGUSIR NIAN SHOW
Zaman dahulu setiap akhir tahun, menjelang pergantian tahun tahun baru, akan muncul sejenis binatang buas yang namanya "Nian Show" yang siap memangsa apa saja yang dijumpainya. Bintang ini muncul setahun sekali, persis di akhir tahun, menjelang awal tahun baru Imlek.

Nian Show bermakna (nian) tahun (show) binatang. Dan dalam penanggalan Imlek dilambangkan dengan dua belas jenis binatang, yakni dikenal dengan shio-shio Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, Babi, Tikus, Kerbau, Macan dan Kelinci.

Kembali pada kisah Nian Show yang ditakuti oleh orang-orang zaman dahulu, maka ada sebuah tradisi dalam lingkungan keluarga Tionghoa, yakni menjaga keselamatan keluarga dari ancaman Nian Show. Dimana, pada saat itu, semua pintu dan jendela harus ditutup rapat, sambil menantikan hari maut itu berlalu.

Sehingga banyak warga yang cemas jika menunggu detik-detik akan memasuki tahun baru Imlek, dikhawatirkan Nian Show datang. Pergantian tahun ini juga menjadikan seluruh keluarga berkumpul di rumah, mereka membuat acara di lingkungan keluarga mereka masing-masing. Namun, kedatangan Nian Show ternyata terhenti, selang beberapa tahun tidak pernah datang lagi. Hal ini membuat rasa takut dan cemas di masyarakat menjadi hilang Masyarakat menjadi leluasa dan bebas merayakan pergantian tahun Imlek dengan bergembira, anak-anak pesta kembang api, dan berbagai ungkapan rasa kegembiraan itu diwujudkan.

Dari tahun ke tahun, Nian Show yang dipercayai menakutkan itu, terkikis dan rakyat pun lega, sampai-sampai tidak ingat lagi dengan budaya menutup pintu dan jendela pada akhir tahun. Bahkan, banyak warga yang pesta maupun mengadakan acara menyambut pergantian tahun yang mereka nantikan itu. Dalam pikiran mereka tidak ada lagi Nian Show.

Memang, Nian Show tidak pernah muncul lagi bahkan sudah hilang rasa takut tersebut. Padahal, jika Nian Show datang, warga tidak tahu dengan kedatangannya tersebut. Dan ia juga tidak dapat diduga. Setelah terlupakan, ternyata Nian Show pernah muncul sekali, dalam suatu perayaan Imlek. "Nian Show mendadak muncul kembali, binatang buas itu dengan serta merta menyerang dan memangsa semua makhluk yang ditemuinya," jelas XF Asali yang baru-baru ini menyampaikan kisah Imlek tersebut.

Tentu saja kedatangan Nian Show yang secara tiba-tiba itu membuat warga panik dan terkejut. Tak disangka-sangka, ternyata Nian Show yang dikira sudah tidak ada lagi, muncul kembali. Kecuali ada beberapa rumah yang terhindar, karena kebetulan rumah tersebut ada pesta, yang di depan pintunya digantung kain merah, dinding ditempel kertas merah Suang-shi, anggota rumah tersebut berpakaian merah.

Konon, Nian Show itu tidak memangsa mereka yang berpakaian merah tersebut. Bahkan, ada beberapa orang warga yang sedang bermain mercon, terhindar dari mangsa Nian Show, karena mendengar bunyi petasan. Dengan adanya kejadian tersebut, maka dapat disimpulkan Nian Show takut kepada yang berwarna merah dan bunyi petasan. Sejak itu, demi keselamatan bersama, pada setiap akhir tahun dan menyambut tahun baru, digantung kain merah di depan rumah, digantung lampion merah, di dinding ditempel keratas merah, disertai tulisan dan kalimat puisi yang indah. Demikian juga bunyi petasan-petasan, dimaksud untuk mengusir nian show.

Kabarnya, sekarang ini nian show memang tidak datang, tapi ia tidak menjelma dalam bentuk binatang, tapi dalam bentuk hawa jahat. Karena itu, setiap orang harus dapat menolak hawa jahat tersebut, dengan melakukan sembahyang serta memasang penangkal berupa kain merah, memasang mercun dan berpakaian merah.

KUE KERANJANG SEBAGAI MAKANAN IMLEK
Tradisi perayaan tahun baru Imlek juga tampak dari hidangan kue yang disajikan. Salah satu ciri khas kue yang cukup populer dimasa perayaan tahun baru Imlek ini yakni kue keranjang bulat. “Keberadaan kue keranjang bulat ini bukan sekadar tradisi begitu saja, akan tetapi ada kisah yang melatar belakangi, mengapa sampai perayaan Imlek itu menghidangkan kue keranjang?” tutur tokoh Tionghoa, XF Asali (Lie Sau Fat) yang saya jumpai beberapa waktu lalu.

Dijelaskan, dalam kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo (tempat masak) dalam dapur di setiap rumah ada dewa-nya yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga). Dewa itu juga sering dikenal dengan sebutan Dewa Tungku, yang ditugaskan untuk mengawasi segala tindak tanduk dari setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari.

Maka setiap akhir tahun tanggal 24 bulan 12 Imlek (atau h-6 tahun baru), Dewa Tungku akan pulang ke surga serta melaporkan tugasnya kepada Raja Surga. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk memberikan hidangan yang menyenangkan atau hal-hal yang dapat membuat Dewa Tungku tidak murka. Sehingga nantinya, jika ia laporan ke Raja Surga, menyampaikan laporan yang baik-baik dari rakyat yang diawasinya.

Bagaimana caranya supaya Dewa Tungku tidak murka, yang menyampaikan laporan baik-baik saja pada Raja Surga? Akhirnya, warga pun mencari bentuk sajian yang manis, yakni kue yang disajikan dalam keranjang. Maka disebutlah kue keranjang, yang sudah mentradisi setiap tahun disajikan untuk merayakan tahun baru Imlek.

Dalam menyajikan kue untuk Dewa Tungku, kue keranjang yang manis tersebut, juga ditentukan bentuknya yakni harus bulat. Hal ini bermakna, keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat berkumpul (minimal) satu tahun sekali, serta tetap menjadi keluarga yang bersatu, rukun, bulat tekad dalam menghadapi tahun baru yang akan datang. Tradisi ini pun dibawa terus secara turun temurun, sampai sekarang ini.

Kini, kue keranjang tersebut sudah mulai banyak di pasar, dengan ukuran yang kecil sampai yang besar. Dalam kepercayaan, kue tersebut juga disajikan di depan altar, atau di dekat tempat sembahyang di rumah. Semua ini, disajikan dalam rangka menyambut tahun baru Imlek, yang sekarang ini hanya tinggal beberapa hari lagi. Maka sudah seharusnya, kue keranjang tersebut sudah disajikan, agar Dewa Tungku tidak murka.

Ternyata tradisi kue keranjang ini juga tidak hanya oleh warga Tionghoa merayakan Imlek, hari raya Idul Fitri pun ada umat Islam yang menyuguhkan kue keranjang, yang sudah memasyarakat itu. Artinya, kue tersebut sudah menjadi milik masyarakat luas, yang sudah tidak asing lagi. Bentuk-bentuknya juga bermacam-macam, dari yang kecil sampai yang besar, namun rasanya yang khas, menjadikan kue keranjang diminati oleh banyak orang. Tak hanya itu, kue keranjang juga dikenal cukup awet dan tahan beberapa hari. Sehingga, dapat disajikan kapan saja. Bahkan, setelah Imlek pun juga masih dapat disajikan.

Diposting pada 28 Januari 2000

Makna dan Legenda Barongsai

Tercipta akibat Akulturasi Budaya

Oleh : Suganda Satyaguna *)

PERTUNJUKAN tari Singa atau Barongsai yang kian marak merupakan khas budaya etnis Tionghoa. Tak dapat dipungkiri bahwa kesenian Barongsai ini sangat banyak disukai dan mampu menarik perhatian penonton. Pada masa kampanye Pemilu'99 yang baru lalu banyak partai-partai politik menggunakan Barongsai sebagai daya tarik kampanye.

Kesenian ini jelas berasal dari negeri Tiongkok yang kemudian dibawa ke berbagai pelosok dunia olep para imigran Tionghoa, termasuk ke Nusantara pada masa yang lampau. Namun sayang sekali informasi mengenai asal-usul, makna, maupun legenda mengenai kesenian Barongsai ini sangat minim, sehingga timbul berbagai penafsiran atau kesimpang-siuran.

Berbicara mengenai kesenian Barongsai tentu tak lepas dari kata kesenian yang merupakan bagian dari kebudayaan. Namun sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kiranya kita memahami definisi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diolah dalam pikiran, diwujudkan dalam perilaku benda yang dihasilkan.

Jadi Barongsai merupakan cermin dari pola pikir orang Tionghoa yang terwujud dalam pertunjukan kesenian Barongsai. Namun bagaimana sesungguhnya pola pikir orang Tionghoa itu?

Menurut Wu Chenxu, Guo Licheng dan Ye Deming dalam bukunya Zhongguo de Fengsu Xiguan (Taipei 1977) menyatakan bahwa bangsa Tionghoa adalah bangsa yang mengutamakan kebersamaan dan tidak bersifat individualis.

Seorang bijak pada masa Tiongkok kuno mengatakan bahwa bila ingin hiburan, maka bersenang-senanglah tetapi usahakanlah agar jangan sendirian, tetapi bersama-sama orang lain. Bermain Barongsai jelas merupakan suatu hiburan, tetapi tak mungkin dilakukan sendirian. Permainannya juga dilakukan bersama-sama dan butuh kerja sama yang baik.

Bila ada seorang pemain yang kurang bisa mengimbangi akan mempengaruhi gerakan orang lain. Jadi Barongsai memadukan kebersamaan antar pemain dan juga hiburan bagi semua orang Tionghoa dan kaum keturunannya di seluruh dunia. Barongsai sendiri berasal dari kata Barong dan Sai.

Secara umum mungkin kita dapat menduga bahwa terdapat hubungan antara kata Barong yang ada di pulau Bali. Keduanya mempunyai perwujudan dan kemiripan. Kesimpulannya bahwa Barong berasal dari bahasa Indonesia dan kata Sai dalam bahasa Tionghoa dialek Fujian (Hokkian) berarti Singa.

Terlihat jelas bahwa telah terjadi akulturasi Budaya dibidang bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Tionghoa dalam dialek suku Hokkian. Ini dapat dimengerti karena bangsa Tionghoa yang datang ke Indonesia sekitar abad 16 adalah dari suku Hokkian. (Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta 1970). Sedangkan sejak kapan, dimana,
dan bagaimana kata Barongsai ini mulai digunakan, masih perlu diteliti oleh pakar Antropologi Budaya.

Dalam bahasa Tionghoa Nasional atau Guoyu atau Mandarin, Barongsai disebut Shi Wu (tari Singa). Legenda Barongsai juga terdiri dari beberapa versi. Pertunjukan aliran apapun dari Barongsai senantiasa menampilkan adegan Barongsai mengejar bola warna merah.

Penampilan pertunjukan Barongsai biasanya dilakukan pada akhir penutupan tahun baru Imlek, yaitu tanggal 15 dan 1 menurut penanggalan Tionghoa tradisional penanggalan candra sangkala. Di klenteng-klenteng, kuil, maupun vihara dikunjungi umatnya berpuja bakti dan merayakan festival Cap Go Meh.

Pada festival ini ditampilkan berbagai pertunjukan kesenian dan salah satunya kesenian Barongsai. Semarak bunya petasan juga menambah meriah suasana. Atraksi Barongsai di tengah suasana Cap Go Meh sangat meriah dibandingkan saat suasana lain. Atraksi Barongsai keliling desa biasanya diiringi dengan keahlian para pemain. Di hampir setiap pintu rumah, Barongsai datang memberi hormat dan tuan rumah menyambutnya. Biasanya tuan rumah sering memberi ang pau (amplop merah berisi uang) sebagai tanda terima kasih atas kunjungannya.

Barongsai juga merupakan makhluk Adi Kodrati yang dapat memberi kemakmuran dan kebahagiaan. Namun seiring perkembangan zaman yang begitu pesat, atrasi Barongsai banyak yang dimodifikasi. ***

Diposting pada 1 Februari 2000

Suganda Satyaguna, dosen Fakultas Sastra Universitas Dharma Persada
Jakarta