22 Juli 2007

Akar Masalah Sentimen Anti China (1)

Demokrasi dan Sentimen Anti China


Oleh : DR.Wong Chin Na, SE,Ak,MBA

PENGANTAR

TULISAN ini dibuat pada awal Januari 1998, ketika rejim Soeharto masih berkuasa dan kerusuhan anti China terjadi di mana-mana. Polemik yang penuh dengan caci maki kata-kata kasar terjadi di forum apakabar (http://www.indopubs.com/archives). Untuk pertama kali tulisan ini dimuat di forum apakabar pada awal 1998, dan kemudian banyak moderator mailing list yang meminta ijin untuk memuat ulang di mailing list nya. Saya tidak tahu pasti berapa mailing list yang pernah memuatnya.

Untuk memeriahkan forum t-net, saya kirimkan kembali tulisan ini dengan sedikit catatan tambahan. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua.

Penulis, Wong CN.
______________________________________________________________________

Awal Januari 1998
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Polemik masalah China di forum Apakabar dewasa ini (akhir 1997 - pen), telah berkembang menjadi tulisan-tulisan yang sifatnya menghasut, baik yang ditulis oleh kalangan pribumi maupun yang ditulis oleh keturunan China sendiri. Tulisan-tulisan seperti ini sangat berbahaya dan mudah dimanfaatkan oleh unsur-unsur tertentu untuk mengacaukan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kalau kita tidak ingin negara kita bertambah kacau, marilah kita secara sadar berusaha mencegah timbulnya kekacauan yang lebih parah dengan cara menghentikan tulisan yang tak tentu arahnya tersebut dan merubahnya menjadi suatu diskusi yang sehat yang didasari oleh suatu tujuan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memojokkan salah satu pihak, tetapi ingin mengemukakan suatu hasil analisis yang ditinjau dari berbagai sudut pandang yang berkaitan dengan ruang lingkup berbangsa dan bernegara. Mohon tanggapan dari pihak-pihak yang kompeten baik dari kalangan pribumi maupun non pribumi, untuk secara dewasa mengusahakan bagaimana mengatasi masalah sentimen rasial ini demi mencegah timbulnya kerugian yang tidak perlu dari kedua belah pihak.

Pihak yang kompeten untuk mengatasi masalah ini adalah mereka yang saat ini menjadi pemimpin suatu organisasi masa, tokoh-tokoh masyarakat, dosen-dosen, mahasiswa, dan anggota masyarakat yang mempunyai cita-cita luhur tehadap persatuan dan kesatuan bangsa. Pihak-pihak yang sekedar ingin mengumbar rasa ketidak puasannya, dimohon dengan hormat untuk tidak membuat tulisan-tulisan yang akan memperparah situasi yang sudah rawan ini.


DEMOKRASI DAN SENTIMEN ANTI CHINA
Berdasarkan pengalaman saya selama ini yang mengalami hidup dalam 2 rejim yang berbeda, Orde Lama dan Orde Baru, akar permasalahan sentimen anti China terletak pada pemerintah sendiri. Pada masa pemerintahan Bung Karno, walaupun hidup kita secara ekonomi relatif susah, tetapi kehidupan politik masyarakat saya rasakan lebih demokratis dibandingkan masa pemerintahan Pak Harto sekarang ini (awal 1998 - pen) yang cenderung diskriminatif dan korup.

Pada masa pemerintahan Bung Karno, cukup banyak warga keturunan China yang duduk dalam pemerintahan, menjadi anggota ABRI, bahkan beberapa di antaranya menjabat sebagai menteri. Keadaan sosial ekonomi warga keturunan China saat itu tidak terlalu jauh berbeda dengan kehidupan ekonomi masyarakat pribumi sekitarnya, sehingga pergaulan antara pri dan non-pri lebih seimbang sebagai kawan yang sederajat daripada hubungan sebagai "atasan dan bawahan" yang banyak ditemukan di kota-kota besar sekarang ini. Hubungan yang seimbang sebagai kawan sederajat sekarang ini hanya dapat ditemukan di desa-desa atau kota-kota kecil, di mana kehidupan kedua belah pihak sama-sama marjinal.

Saat itu, walaupun sentimen anti China tetap ada tetapi tidak sampai mencuat ke permukaan secara terbuka seperti sekarang. Pernah terjadi kerusuhan pada tahun 1962/1963, namun pemerintah cq ABRI saat itu langsung bertindak, para pelakunya segera ditangkap dan diadili sehingga tidak memancing orang lain untuk "unjuk gigi" sebagai pahlawan kesiangan.

Para pencoleng yang menyamar sebagai demonstran segera ditangkap untuk diadili sebagai pencuri, berbeda dari hukuman terhadap para penggerak demonstran murni yang bersifat politis yang umumnya disponsori oleh golongan fundamentalis Islam seperti DI/TII. Sepanjang yang saya ketahui, kerusuhan yang terjadi tidak sampai membakar toko-toko dan mobil apalagi sampai menelan korban jiwa.

Sepanjang masa pemerintahan Pak Harto tidak pernah terdengar seorang warga keturunan China yang menduduki jabatan di pemerintahan, sangat langka yang diterima menjadi anggota ABRI, apalagi yang diangkat sebagai menteri. Bahkan pejabat-pejabat pemerintahan sampai eselon tertentu cenderung di dominasi salah satu suku yang ada di Pulau Jawa, hanya satu-dua yang berasal dari luar Jawa.

Sebagai pembenaran atas ketidak benaran yang terjadi, diperkenalkan teori proporsional oleh orang-orang tertentu yang saat ini memegang jabatan penting di pemerintahan, yang intinya tidak berbeda dengan meniupkan rasialisme di antara suku-suku yang ada di Indonesia. Tindakan pemerintah terhadap para pelaku kerusuhan atas warga keturunan China yang cenderung ditutup-tutupi, sudah kita ketahui bersama dan tidak perlu diuraikan lebih jauh dalam tulisan ini.


MUSUH BERSAMA.
Dari sini dapat diambil suatu dugaan kuat bahwa terdapat korelasi erat antara pemerintah yang demokratis dengan sentimen anti rasial, khususnya sentimen anti China di Indonesia. Dalam pemerintahan yang tidak demokratis, pemerintah cenderung untuk menciptakan "musuh bersama" sebagai salah satu strategi untuk mengalihkan perhatian masyarakat, agar pemerintah yang berkuasa bebas dari "rongrongan" pihak-pihak yang tidak sejalan.

Sejak awal Orde baru, pemerintahan Pak Harto juga cenderung bermuka dua, di mana secara administratif pemerintah tetap membedakan warga pribumi dan non pribumi
dengan alasan yang macam-macam, tetapi dalam pidato-pidato resmi pemerintah menyatakan tidak pernah membedakan warga negara berdasarkan keturunannya.
Hal yang sama berlaku juga untuk agama yang harus dicantumkan dalam KTP masing-masing, yang sudah pasti ada maksud tertentu daripada hanya sekedar data statistik semata-mata.

Demikian juga dengan kampanye anti korupsi, di mana yang paling gencar berkampanye justru orang yang paling rakus melakukan korupsi dan komersialisasi jabatan. Agar uang hasil korupsi tidak dapat ditelusuri asal-usulnya, sebagian di tanam di bank-bank luar negeri, sebagian lagi di investasikan dalam perusahaan. Karena dasarnya para koruptor ini tidak pernah mengerti business, diangkatlah orang-orang keturunan China yang cukup
berpengalaman dalam business sebagai bonekanya.

Dengan cara ini, maka orang-orang keturunan China dicap sebagai tukang kolusi, dan terciptalah "musuh bersama" sebagai bagian dari strategi mempertahankan pemerintahan yang berkuasa sekaligus memperkokoh kekayaan pribadi.

Usulan dari pihak-pihak tertentu untuk memasukkan azas pembuktian terbalik dalam UU Perpajakan yang sekaligus dapat mengusut sumber kekayaan yang dimiliki seseorang, ditolak mentah-mentah oleh pihak yang berkuasa dengan alasan yang tidak masuk akal. Penolakan ini dapat dimengerti, karena tidak beda dengan membuat jebakan untuk dirinya sendiri. Dengan azas pembuktian terbalik, maka uang hasil korupsi yang tidak pernah dibayar pajak penghasilannya otomatis akan terjerat.


EVOLUSI BOSS BONEKA.
Orang-orang keturunan China yang dijadikan boneka tahu, bahwa dia sebenarnya hanya dijadikan boneka saja. Maka mereka juga berusaha agar suatu saat dapat memiliki perusahaan sendiri, dan sekaligus melepaskan diri dari posisinya sebagai boneka. Dari berjalannya waktu, mereka ini akhirnya berhasil menempatkan diri sebagai pemilik perusahaan yang sebenarnya, dan dari status boneka sebagian beralih menjadi partnership.

Dengan berkembangnya perusahaan-perusahaan boneka tersebut, membuka kesempatan kepada para pengusaha kecil untuk menjadi pemasok. Orang-orang keturunan China yang lapangan kerjanya dibatasi oleh pemerintah, melihat hal ini sebagai suatu peluang yang baik. Maka bermunculanlah pengusaha-pengusaha gurem dengan modal seadanya yang memasok barang ke perusahaan-perusahaan boneka tersebut. Mereka hanya bermodalkan kejujuran dan kepercayaan dari pemilik barang serta ditunjang oleh naluri dagang mereka yang cukup kuat, perjalanan business mereka relatif lancar dan akhirnya bisa berkembang
menjadi perusahaan-perusahaan baru berskala menengah yang tersebar dimana-mana.

Perlu dicatat, bahwa pada dasarnya warga keturunan China yang dijadikan boss boneka adalah orang-orang yang buta politik yang sekedar mencari makan dan tidak pernah memikirkan diskriminasi rasial. Prinsip mereka, barang dari manapun akan dibeli kalau bagus dan harganya murah tanpa melihat pemasoknya pribumi atau non-pribumi. Para pemasok pribumi yang barangnya tidak dapat bersaing, melempar kekesalannya dengan mengatakan bahwa perusahan tersebut diskriminatif.

Nalar sehat membuktikan, bahwa hampir semua boss kenyataannya tidak pernah berhubungan langsung dengan para pemasok, yang melakukan transaksi sehari-hari dengan pemasok adalah pegawainya yang sebagian besar adalah pribumi. Sejalan dengan pemerataan yang diartikan secara keliru, pimpinan-pimpinan daerahpun meniru apa yang dilakukan oleh pemimpin pusat.

Maka di daerahpun bermunculan pula boss-boss boneka yang sebagian besar warga keturunan China yang sudah memiliki dasar kuat dalam business, sekaligus memajukan pula usaha-usaha dari pengusaha-pengusaha gurem yang bertindak sebagai pemasok, baik pribumi maupun non pribumi.

Kalau hanya dilihat dari sudut pandang ini, maka tidak heran kalau banyak warga pribumi khususnya yang kurang memahami akar permasalahan yang sebenarnya beranggapan bahwa para pengusaha China tukang kolusi. Dipilihnya warga keturunan China untuk menjadi boss boneka oleh para koruptor tentu melalui berbagai pertimbangan, yang utama karena kemampuan businessnya dan yang kedua mereka mudah diatasi serta tidak neko-neko karena tidak punya decking.

Secara manusiawi warga keturunan China mau dijadikan boneka, karena mereka butuh hidup sedangkan lapangan pekerjaannya terlalu dibatasi oleh pemerintah. Sebaliknya orang-orang yang mau dijadikan boneka oleh para koruptor, adalah orang-orang yang egois yang tidak pernah memikirkan kepentingan orang banyak, dan otomatis mereka tidak pernah memikirkan kepentingan negara. Mungkin mereka berpendapat, kalau mereka menolak toch akan ada orang lain yang mau, jadi apa salahnya diterima. Orang-orang seperti ini pantas disebut tidak mempunyai rasa nasionalisme, termasuk pula
para koruptor penyandang dana yang berada di balik layar.

Namun dalam hal ini perlu diingat, bahwa tidak semua pengusaha keturunan China asalnya adalah pengusaha boneka yang mengelola uang pejabat hasil korupsi. Masih banyak pengusaha keturunan China yang dari hasil keringatnya sendiri, mampu berkembang menjadi pengusaha besar. Para pemasok terhadap perusahaan boneka juga tidak dapat dituduh telah melakukan kolusi. Sebagai tolok ukur sederhana, dapat dipakai patokan skala perusahaan dan tahun pendirian perusahaan tersebut.

Kalau perusahaan yang bersangkutan didirikan sebelum Orde baru, kemungkinan besar perusahaan ini adalah perusahaan yang benar-benar berdiri atas jerih payahnya sendiri. Sebaliknya perusahaan yang didirikan setelah Orde Baru terutama yang dalam waktu singkat berkembang sangat fantastis, kemungkinan adalah hasil kolusi dengan oknum pejabat melalui berbagai cara.

Secara politis pemerintah mengakui bahwa pengusaha non pribumi sengaja diberi fasilitas khusus mengingat kemampuan businessnya yang diharapkan dapat dijadikan pionir untuk memajukan perekonomian negara, yang pada akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja. Memang akhirnya mereka mampu memberikan lapangan kerja yang cukup besar bagi masyarakat luas, namun sebenarnya mereka tidak pernah diberi fasilitas khusus (kecuali yang dijadikan boneka oleh para koruptor).

Fasilitas yang tersedia akan diberikan kepada siapa saja, baik pengusaha asing maupun pengusaha dalam negeri - pribumi ataupun non pribumi - sepanjang mereka mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Untuk pengusaha asing disediakan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan untuk pengusaha dalam negeri disediakan UU No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Beberapa pengusaha besar dari kalangan pribumi yang sukses antara lain Bakrie, Sahid, Jusuf Kalla, dsb. Fasilitas yang diberikan melalui kedua UU tersebut sebenarnya hal-hal yang wajar yang diperlukan dalam investasi, yang di negara lain tidak dianggap sebagai sesuatu yang istimewa (ingat dalam masa Orde Lama Indonesia tertutup untuk investasi asing dan modal besar). Tanpa fasilitas ini, tidak akan ada investor asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia.

Fasilitas khusus yang sering dipublikasikan pemerintah seolah-olah diberikan kepada pengusaha non-pribumi, sebenarnya hanya diberikan secara terbatas kepada pihak keluarga sendiri seperti : Tutut, Tomy, Bambang, Sigit, Titik, Mamiek, Probosutedjo, dan Sudwikatmono. Ingat proyek jalan tol nya Tutut, monopoli cengkehnya Probosutedjo yang kemudian direbut Tomy, Mobnas-nya Tomy, listriknya Bambang, dan lain-lain yang terlalu panjang untuk diuraikan semuanya di sini.

Diposting pada 28 November 1999
Bersambung ke bagian 2.

Akar Masalah Sentimen Anti China (2)

WNI Keturunan China dan Strategi Politik

Oleh : DR.Wong Chin Na, SE,Ak,MBA

SENTIMEN anti China yang cukup hangat belakangan ini (sejak awal 1997 - pen) adalah salah satu strategi dari pemerintah sekarang (rejim Soeharto - pen) yang didominasi Golkar dengan korupsi dan nepotismenya. Untuk membersihkan Golkar dari tuduhan anti China ; yang sampai sejauh ini masih diperlukan untuk mendapat bantuan dari negara lain, dicarilah kambing hitam agar Golkar tetap bersih dan pemerintah Suharto tetap berjaya. Pilihan yang terbaik adalah fanatisme agama Islam dan PPP.

Agama Islam yang secara tradisional selama ratusan tahun hidup berdampingan secara damai dengan agama lain dijadikan alat untuk mempercepat munculnya "musuh bersama", yang kebetulan kurang pengikutnya dari kalangan warga keturunan China. Pesantren-pesantren secara sistematis disusupi agen-agen pemerintah untuk menggiring murid-muridnya yang masih polos, menjadi anti China yang di-identik-kan dengan Kristen. Padahal penganut Kristen di Indonesia, sebagian besar adalah warga pribumi dari daerah Indonesia Timur, dan tidak semua warga keturunan China penganut Kristen.

PPP sebagai wadah aspirasi politik dari kalangan Islam (sebelum reformasi -pen) otomatis memikul dampaknya, sehingga dianggap kurang bersahabat oleh warga keturunan China dan non Islam. Tindakan brutal terhadap toko-toko milik warga keturunan China, Gereja dan Vihara sekitar Pemilu 1997 yang lalu sering dikaitkan dengan kampanye PPP. Padahal para petinggi PPP bukan orang bodoh untuk melakukan hal-hal seperti itu, yang otomatis tidak akan mendapat simpatik dari kalangan moderat Islam di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kalau diteliti lebih lanjut, tindakan brutal terhadap warga keturunan China yang silih berganti terjadi setelah terbentuknya ICMI di bawah pimpinan Habibie yang kader Golkar, sebelumnya tindakan brutal seperti itu jarang sekali terjadi.

Sayangnya PPP dalam usaha meningkatkan pendukungnya kurang tegas memisahkan antara anggota / pendukung yang sebenarnya dengan "pendukung palsu" yang ingin mendiskreditkan PPP atau mengail di air keruh. Tantangan Gus Dur untuk membuktikan dalang kerusuhan yang sebenarnya dalam peristiwa Tasikmalaya; yang sebelumnya mengkambing-hitamkan salah satu organisasi sosial Islam yang erat kaitannya dengan ibundanya, tidak pernah mendapat tanggapan dari pihak penguasa.

Dihembuskanlah isu bahwa kalau PPP sampai menang Pemilu, maka Indonesia akan dijadikan negara Islam dan semua warga keturunan China harus masuk Islam. Oleh karena itu dalam setiap kampanye Pemilu selalu ditekankan (secara tertutup) bahwa warga keturunan China dan kalangan non Islam lainnya harus memilih Golkar, kalau tidak posisi Golkar menjadi agak lemah dan mudah disaingi PPP. Kalau hal ini sampai terjadi, tentu akan menjadi bencana besar bagi warga keturunan China dan non Islam. Suatu taktik kampanye yang hebat bukan? Padahal secara logika, 3 dari 5 fraksi yang ada di DPR (Golkar, Utusan Daerah dan Wakil ABRI) identik dengan Golkar, sehingga kalaupun perolehan suara untuk ketiga kontestan Pemilu sama besar, Golkar akan tetap unggul di DPR / MPR karena didukung fraksi ABRI dan Utusan Daerah yang ditunjuk langsung oleh presiden tanpa melalui Pemilu.

Dengan demikian, maka aspirasi politik warga keturunan China hanya memiliki 2 alternatif, yaitu Golkar dan PDI. Sebaliknya apabila banyak warga keturunan China yang menjadi anggota PDI, maka diperkirakan PDI akan menjadi ancaman utama bagi Golkar, karena warga keturunan China ini diyakini akan menjadi penyumbang dana yang sangat potensial. Dengan dukungan dana yang kuat, maka PDI akan mampu melaksanakan berbagai program sosial kemasyarakatan yang akan meningkatkan simpati masyarakat luas. Apalagi kalau PDI dipimpin oleh Megawati yang bagaimanapun masih membawa karisma Bung Karno, yang sampai
saat ini masih banyak mendapat simpati masyarakat..

Oleh karena itu pemerintah dengan berbagai cara berusaha memecah belah PDI, dan puncaknya adalah kasus Surjadi. Terhadap warga keturunan China sendiri, secara sistematis dilakukan intimidasi oleh kalangan intelijen AD dengan disertai ancaman. Pengusaha yang ketahuan menjadi pendukung PDI, diancam ijin usahanya akan dicabut. Perusahaan pendukung Golkar yang mempekerjakan orang-orang PDI juga diancam, sehingga sebagian terpaksa mem PHK nya. Salah satu contoh yang mendapat sorotan luas adalah Laksamana Sukardi yang
(dipaksa) mengundurkan diri dari jabatan Direktur Lippo Bank dengan alasan yang tidak masuk akal, sekalipun dia bukan keturunan China.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi warga keturunan China untuk menampung aspirasi politiknya selain Golkar. Dengan dukungan dana dari para pengusaha besar keturunan China (sebagian adalah milik pejabat juga, yang bukan milik pejabat dalam prakteknya dipaksa) maka Golkar menjadi tak tertandingi oleh partai-partai lain. Pengusaha-pengusaha keturunan China yang rakus, otomatis akan memanfaatkan hal ini dengan meminta proyek-proyek baru
dari pemerintah untuk menutup kerugian dana yang disumbangkan ke Golkar.

Sumbangan ke Golkar ini akhirnya berlangsung secara rutin dan berkembang menjadi sumbangan ke pribadi-pribadi pejabat dari berbagai eselon, dan terciptalah kolusi yang bagaikan lingkaran setan yang disebut-sebut sebagai penyebab timbulnya ekonomi biaya tinggi.

Dalam hal ini perlu ditekankan sekali lagi, kolusi ini hanya terjadi di kalangan pengusaha-pengusaha keturunan China yang rakus saja yang dengan teknik kolusinya mampu berkembang menjadi pengusaha besar, tetapi jumlahnya hanya puluhan perusahaan saja. Masih banyak pengusaha-pengusaha keturunan China yang jujur, yang karena kejujurannya usahanya tidak berkembang sepesat pengusaha yang rakus, sehingga tidak masuk nominasi sebagai penyandang dana Golkar.

Bahkan ada beberapa di antaranya yang rela menjual perusahaannya, karena tidak tahan menghadapi pemeras-pemeras berdasi. Contoh yang cukup menghebohkan adalah dijualnya Bank Niaga milik keluarga Tahija yang sebenarnya cukup sehat, kepada seorang pengusaha yang mempunyai akses kuat ke pucuk pimpinan negara (Hasjim Djojohadikoesoemo, adiknya Prabowo Soebianto- pen). Padahal Tahija juga bukan keturunan China.

Meskipun demikian, di dalam tubuh Golkar sendiri pasti banyak orang-orang jujur dengan jiwa nasionalisme yang tinggi yang menginginkan kemajuan bangsa dan negara Indonesia, tanpa bercita-cita menumpuk kekayaan pribadinya. Mereka inilah sebenarnya yang sangat potensial
untuk melakukan pembenahan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Seperti apa yang dikatakan Harmoko, pencalonan diri Amien Rais dan Megawati sebagai presiden dalam SU-MPR yang akan datang di luar sistem yang berlaku (saat itu Mega dan Amin bukan anggota DPR/MPR - pen), sekalipun mereka juga mendapat dukungan rakyat. Maka secara konstitusional mustahil Amien Rais dan Megawati dapat mencalonkan diri menjadi presiden.

Tetapi kalau yang mencalonkan diri anggota Golkar sendiri yang saat ini duduk di DPR/MPR, masalahnya menjadi lain dan Harmoko tidak dapat lagi mengatakan bahwa hal ini di luar sistem yang berlaku (yang sampai kapanpun tidak mungkin dirubah untuk memberikan kesempatan pada Amien Rais dan Megawati mencalonkan diri menjadi presiden). Oleh karena itu selama Pak Harto masih berkuasa, tidak heran kalau ada pejabat yang jujur dan berprestasi selalu dipensiunkan lebih awal atau disingkirkan sebagai Dubes, karena dikhawatirkan akan banyak pendukungnya.

Penempatan sang menantu sebagai Komandan Kopassus diduga untuk mencegah segala kemungkinan, mengingat Kopassus yang dulu masih bernama RPKAD adalah faktor kunci yang mendukung keberhasilan perjuangan Angkatan 66. Sikap preventif ini juga tampak jelas dari berita terakhir mengenai Sofyan Wanandi yang dijadikan kambing hitam oleh Faizal Tanjung (ex Menko Polkam - pen), karena dia terang-terangan menolak memberikan sumbangan ketika dihubungi ABRI. Beberapa tokoh Angkatan 66 kawan seperjuangan Sofyan Wanandi, terang-terangan membela dia karena mereka sudah tahu dengan jelas sampai di mana jiwa nasionalisme Liem Bian Koen yang China ini.

Keluarga Amir Biki yang sakit hati terhadap Benny Moerdani dalam Peristiwa Tanjung Priok, diperalat untuk menjatuhkan Sofyan Wanandi yang dekat dengan Benny Moerdani. Liem Sioe Liong yang tidak ada hubungan apapun juga turut dilibatkan. Tidak heran kalau ada beberapa radio luar negeri menyebutkan hal ini hanya rekayasa Faizal Tanjung semata-mata untuk membalas dendam terhadap Benny Moerdani Cs yang pernah menyingkirkannya semasa menjabat sebagai Pangab.


KRISIS MONETER.
Krisis moneter adalah sesuatu yang wajar yang terjadi di negara manapun, apabila kondisi keseimbangan pasar (equilibrium) dalam bidang moneter negara bersangkutan terganggu. Secara teoritis, apabila penerimaan dan pengeluaran negara kita (ke negara lain) sama, maka nilai tukar rupiah terhadap US$ akan tetap nilainya. Rupiah akan menguat jika penerimaan negara kita lebih besar dari pengeluarannya (surplus), sebaliknya rupiah akan melemah jika
penerimaan negara kita lebih kecil dari pengeluarannya (defisit).

Dalam batas tertentu, pembelian barang-barang modal (mesin-mesin) dari luar negeri meskipun untuk sementara mengakibatkan defisit dapat diterima, dengan catatan barang-barang modal tersebut dalam batas waktu yang wajar dapat menghasilkan barang yang sebelumnya harus diimpor dengan harga yang lebih murah. Keuntungan yang diperoleh, meskipun diterima oleh pihak swasta, secara makro merupakan penghematan devisa bagi negara kita yang sebelumnya dinikmati oleh negara lain.

Contoh yang saya anggap cukup berhasil dalam hal ini adalah produk tekstil. Dengan kwalitas yang cukup baik dan harga yang kurang dari separuh tekstil impor, maka tanpa disuruhpun rakyat akan lebih suka membeli tekstil produk dalam negeri daripada tekstil impor yang mahal.
(Catatan: sayangnya industri tekstil di Indonesia akhirnya menjadi bumerang bagi negara kita sendiri, akibat salah urus yang parah dan pengusahanya lebih mementingkan kekayaan pribadi daripada pengembangan perusahaan.)

Keuntungan yang diperoleh dari subsitusi barang impor, dipakai untuk mencicil utang pembelian barang modal yang memproduksi barang tersebut. Setelah lunas, keuntungan ini menjadi cadangan devisa bagi negara kita. Jadi secara keseluruhan, pengeluaran negara kita akan berkurang sehingga akan meningkatkan surplus atau mengurangi defisit. Dengan demikian nilai tukar rupiah akan menguat terhadap US$.

Sebaliknya, apabila perusahaan yang mengimpor barang modal ini tidak dapat bekerja secara efisien, maka barang yang dihasilkan lebih mahal dari harga impor sehingga tidak mampu bersaing di pasaran. Akibatnya impor barang yang sama akan tetap berlangsung. dan perusahaan yang bersangkutan akhirnya bangkrut. Secara makro, bangkrutnya perusahaan ini akan memboroskan devisa negara dan akhirnya menambah defisit neraca pembayaran. Contohnya dalam hal ini adalah produk otomotif dalam negeri yang jauh lebih mahal dari mobil
impor.

Kalau impor barang modal ini dari tahun ke tahun terus bertambah besar tanpa perhitungan yang matang, sekalipun masing-masing perusahaan yang mengimpornya mampu menghasilkan barang yang dapat bersaing dengan produk impor, suatu saat akumulasi cicilan hutang atas barang modal tersebut mencapai jumlah yang jauh lebih besar dari devisa yang dapat
dihemat. Kondisi seperti ini bukan menghemat devisa, tetapi malahan memboroskan devisa.

Analog dengan ini dapat diibaratkan suatu keluarga yang membeli sebuah minibus bekas seharga Rp 10 juta secara cicilan untuk dipakai bersama-sama, agar menghemat biaya tranportasi sehari-hari. Biaya transportasi yang dihemat dipakai untuk membeli bensin dan membayar cicilan minibus tersebut. Bayangkan kalau minibus tersebut setelah lunas diganti
dengan Pajero seharga Rp 200 juta, apa keuangan keluarga tersebut tidak terkuras habis?

Keadaan ini akan bertambah parah apabila rakyat dicekoki terus setiap hari melalui iklan TV untuk membeli barang-barang mewah ex impor. Makan buah-buahan impor dianggap lebih bergengsi dibandingkan buah-buahan lokal, padahal kandungan vitamin di dalamnya relatif sama. Banyak orang-orang kaya yang hanya untuk menunjukkan eksistensi dirinya, khusus mengimpor bahan-bahan bangunan untuk istana yang sedang dibangunnya.

Ibadah Haji dijadikan komoditi business tersendiri, sehingga banyak rakyat kecil di pedesaan dan pinggiran kota yang jatuh miskin setelah pulang Haji. Dalam ajaran Islam, ibadah
Haji wajib bagi yang mampu (kaya), tetapi tidak dianjurkan kalau untuk ibadah Haji tersebut harus menjual sawah atau kebun yang menjadi sumber penghasilan utamanya. Tanah miliknya langsung berpindah tangan ke pengusaha properti yang didukung pejabat tertentu, dan secara tidak sadar mereka telah turut memboroskan devisa negara.

Para pejabat pemerintah yang berwenang dalam soal impor atau Depag tentu tahu hal ini, tetapi tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegahnya, karena pribadinya diuntungkan melalui berbagai macam cara. Di antaranya karena perusahaan importir tersebut sebagian milik keluarganya sendiri, atau pejabat bersangkutan mendapat komisi yang cukup besar. Uang komisi dan hasil korupsi lainnya agar aman disimpan di luar negeri, dan akibatnya menambah
beban pengeluaran devisa negara.

Inilah sebenarnya faktor utama terjadinya krisis moneter di Indonesia. Apabila pada masa krisis moneter ini (akhir 1997 s/d awal 1998 - pen) banyak orang yang memburu dolar dan mengirimkannya ke luar negeri, itu hanya sekedar ekses dari keadaan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$. Meskipun ditinjau dari segi nasionalisme hal seperti ini merupakan perbuatan tercela, tetapi tindakan ini secara manusiawi - tanpa melihat pribumi atau non pribumi - adalah sekedar usaha manusia untuk menyelamatkan harta kekayaannya. Akibat yang terjadi, krisis rupiah bertambah parah, jauh di atas kewajaran secara teori ekomoni dan moneter.

Bantuan IMF dengan berbagai saran-sarannya yang memberatkan negara kita, lebih diterima oleh pemerintah daripada saran-saran yang dikemukakan akhli-akhli bangsa Indonesia sendiri. Para penguasa negara lebih rela negara kita secara tidak langsung dikuasai oleh bule-bule daripada oleh bangsa sendiri yang tidak sehaluan. Kenyataannya sampai sejauh ini (Jan.1998 - pen) IMF hanya membantu sebesar $ 3 milyar dari $ 23 milyar yang dijanjikan. Maka timbullah gosip-gosip yang silih berganti yang intinya menjurus kepada timbulnya kekacauan masal dan penggantian pemerintahan yang sudah sejak lama tidak mendapat dukungan rakyat akibat berbagai macam kebohongan yang ditimbulkan sendiri.

Krisis moneter seperti ini, merupakan peluang bagi kalangan tertentu untuk memperkokoh keberadaan "musuh bersama", yaitu warga keturunan China dengan segala sepak terjangnya di dunia business, yang di isukan sebagai penyebab timbulnya krisis moneter di Indonesia. Dengan cara ini maka "musuh bersama" yang sebenarnya dapat tidur nyenyak di atas tumpukan dolarnya.

Diposting pada 29 November 1999
Bersambung ke bagian 3.

Temanku, temanmu, teman kita semua

TEMAN adalah hadiah dari Yang Di Atas buat kita.
Seperti hadiah, ada yang bungkusnya bagus dan ada yang bungkusnya jelek. Yang bungkusnya bagus punya wajah rupawan, atau kepribadian yang menarik. Yang bungkusnya jelek punya wajah biasa saja, atau kepribadian yang biasa saja, atau malah menjengkelkan.

Seperti hadiah, ada yang isinya bagus dan ada yang isinya jelek.
Yang isinya bagus punya jiwa yang begitu indah sehingga kita terpukau ketika berbagi rasa dengannya, ketika kita tahan menghabiskan waktu berjam-jam saling bercerita dan menghibur, menangis bersama, dan tertawa bersama. Kita mencintai dia dan dia mencintai kita.

Yang isinya buruk punya jiwa yang terluka. Begitu dalam luka-lukanya sehingga jiwanya tidak mampu lagi mencintai, justru karena ia tidak merasakan cinta dalam hidupnya.

Sayangnya yang kita tangkap darinya seringkali justru sikap penolakan, dendam, kebencian, iri hati, kesombongan, amarah, dll. Kita tidak suka dengan jiwa-jiwa semacam ini dan mencoba menghindar dari mereka.

Kita tidak tahu bahwa itu semua bukanlah karena mereka pada dasarnya buruk, tetapi ketidakmampuan jiwanya memberikan cinta karena justru ia membutuhkan cinta kita, membutuhkan empati kita, kesabaran dan keberanian kita untuk mendengarkan luka-luka terdalam yang memasung jiwanya.

Bagaimana bisa kita mengharapkan seseorang yang terluka lututnya berlari bersama kita? Bagaimana bisa kita mengajak seseorang yang takut air berenang bersama? Luka di lututnya dan ketakutan terhadap airlah yang mesti disembuhkan, bukan mencaci mereka karena mereka tidak mau berlari atau berenang bersama kita.

Mereka tidak akan bilang bahwa "lutut" mereka luka atau mereka "takut air", mereka akan bilang bahwa mereka tidak suka berlari atau mereka akan bilang berenang itu membosankan dan seterusnya.

It's a defense mechanism. Itulah cara mereka mempertahankan diri.

Mereka tidak akan bilang : "Aku tidak bisa menari"
Mereka akan bilang : "Menari itu tidak menarik."

Mereka tidak akan bilang : "Aku membutuhkan kamu"
Mereka akan bilang : "Tidak ada yang cocok denganku."

Mereka tidak akan bilang : "Aku kesepian"
Mereka akan bilang : "Teman-temanku sudah lulus semua"

Mereka tidak akan bilang : "Aku butuh diterima"
Mereka akan bilang : "Aku ini buruk, siapa yang bakal tahan denganku.."

Mereka tidak akan bilang : "Aku ingin didengarkan"
Mereka akan bilang : "Kisah hidupku membosankan.."

Mereka semua hadiah buat kita, entah bungkusnya bagus atau jelek, entah isinya bagus atau jelek. Dan jangan tertipu oleh kemasan. Hanya ketika kita bertemu jiwa-dengan-jiwa, kita tahu hadiah sesungguhnya yang sudah disiapkanNya buat kita.

Dalam kenangan akan J.B. Sugijarta, SJ.
Musim panas 1999

Diposting di milis tionghoa-net pada 24 November 1999

Sepak Terjang Hoakiau di Indonesia

Oleh : Rachmat Basuki Soeropranoto (rbs@operamail.com)

MUNGKIN tidak banyak diantara anak-anak muda sekarang yang kenal nama Kartika dan Thahir. Kedua nama itu sangat populer di tahun 1970-an. Kasus Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok, Cina Hoakiau kelahiran Nganjuk, telah membuktikan betapa lihainya sindikat para Hoakiau membodohi pejabat-pejabat tinggi kita, untuk menguras kekayaan rakyat Indonesia demi kepentingan mereka.

Kartika Ratna mula-mula diperkenalkan oleh Robin Loh kepada Thahir yang merupakan orang kepercayaan Ibnu Sutowo. Robin Loh adalah seorang Hoakiau dari Singapura yang dekat hubungannya dengan pejabat-pejabat Pertamina. Setelah melalui periode samen-laven, janda cantik itu kemudian menjadi penterjemah Thahir dalam perundingan-perundingan bisnis Pertamina. Ini berarti perempuan Hoakiau itu tahu betul rencana-rencana Pertamina, dari A sampai Z. Dengan sendirinya Robin Loh juga tahu persis setiap rencana Pertamina.

Mengingat pentingnya kedudukan Thahir, maka hubungan samen-laven diitingkatkan menjadi hubungan suami-isteri. Dengan demikian hasil-hasil komisi yang didapatkan Thahir dimasukkan ke dalam rekening bersama Thahir dan Kartika. Permainan subversi sindikat Hoakiau ini telah membuat orang penting macam Thahir hanya menjadi alat untuk keuntungan para Hoakiau semata-mata.

Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok yang diorbitkan oleh sindikat Hoakiau ini kemudian mempengaruhi Thahir dan pejabat Pertamina lainnya, untuk melakukan mark up terhadap kontrak-kontrak Pertamina, antara 15% sampai 100% dengan berbagai kontraktor asing. Ini berarti komisi yang diterima lebih banyak lagi.

Uang hasil komisi itu akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan permodalan sindikat Hoakiau. Kartika dan Thahir dengan uang komisi itu kemudian bekerja sama dengan Henry Kwee dan Liem Sioe Liong mendirikan perusahaan kontraktor bernama First Realty International Corporation of Singapore. Perusahaan Real Estate itu antara tahun 1973 dan 1975 kemudian menjadi pemborong proyek perumahan Pertamina Village dan Pertamina Tower, yang tentunya meraup keuntungan yang tidak sedikit.

Pada 23 Juli 1976 Thahir meninggal dunia. Kartika Ratna alias Tan Kiem Giok yang ketika itu berada di Swiss, tidak berfikir untuk melayat suaminya di Jakarta, tetapi langsung terbang ke Singapura. Rekening-rekening bersamanya dengan Thahir di Chase Manhattan Bank dan The Hongkong & Shanghai Corporation sebesar US$ 45 juta dikuras habis tanpa sisa.

Watak agresif dan serakah semakin nampak ketika Kartika Ratna akan menguras hasil komisi di Bank Sumitomo sebesar DM 54 juta dan US$ 1,2 juta. Kartika menolak berbagi harta-waris dengan anak-anak Thahir. Karena itulah skandal Kartika-Thahir akhirnya terbongkar luas.

Kekuatan ekonomi para Hoakiau selama Orde Baru jauh lebih kuat dari masa penjajahan dulu, jauh lebih kuat dari masa pendudukan Jepang, jauh lebih kuat dari masa Orde Lama. Para Hoakiau itu selama Orde Baru melalui kerja-samanya dengan para pejabat tinggi Indonesia, telah berhasil menduduki apa yang disebut superior economic position yang tidak bisa digulingkan lagi.

Para Hoakiau dengan latar belakang kebudayaan yang agresif, ikatan darah yang sangat kuat, tradisi mengorganisasi diri secara sentral, naluri intelijen yang tajam, tradisi menyuap lawan, serta memiliki kesempatan-kesempatan yang diberikan Belanda, serta tidak adanya kesungguhan dari pemerintah RI untuk mengangkat peranan ekonomi kaum pribumi, menyebabkan expansi ekonomi para Hoakiau itu kian hari semakin maju ke arah jantung kehidupan ekonomi bangsa Indonesia.

Sepanjang Orde Baru para Hoakiau telah meajai berbagai bidang, seperti perbankan, perkayuan, sindikat beras dan gula, karet, semua bidang industri (penggilingan terigu, pabrik semen, pabrik rokok, pabrik tekstil dan batik, alat-alat rumah tangga, alat-alat kantor), perakitan mobil dan motor serta perlengkapan elektronik lainnya, perdagangan umum, kontraktor, pemasok, keagenan, pengangkutan barang dan jasa, ekspor-impor, real estate, bioskop, perhotelan, sampai dengan kebutuhan rumah tangga seperti bumbu masak, dan
sebagainya.

Tokoh-tokohnya yang terkenal, antara lain Soedono Salim alias Liem Sioe Liong, Yantje Harianto alias Yantje Liem, Suryadi alias Willy Liem Giok, Sutopo Yananto alias Yap Swie Kie, Arif Husni alias Ong Seng Keng, Nyoo Han Siang, Tong Djoe (Tunas Group), William Soeryadjaya alias Tjia Kian Liong, Tjia Kian Tie, Benyamin Soeryadjaya alias Tjia Kian Yoe, Yan Darmadi alias Foek Yoo Yan, Mas Agung Alias Tjio Wie Thay, Tjiputra, Agus Nursalim, Hendra Wijaya, Tjokro Sumarto alias Kwee Som Tjok, Sofyan Wanandi alias Liem Bian Koen, Paul Handoko alias Liem Po An, Robby Tjahjadi alias Sie Tjia Ie, dan banyak lagi.

Mengenai Robby Tjahjadi, yang telah diputus pengadilan bersalah dalam kasus penyelundupan, dan harus mendekam di Cipinang, ternyata ia tidak pernah merasakan "nikmatnya" berdomisili di Cipinang. Ketika itu hanya terlihat Abu Kiswo, seorang pejabat Bea & Cukai yang diperalat Robby Tjahjadi. Dengan kekuatan uangnya dan kedekatannya dengan petinggi, Robby tidak perlu repot-repot menjalani hukuman di Cipinang, ia cukup membeli "pedang" aparat
penegak hukum.

Tentunya tidak semua Cina Hoakiau bersikap merugikan, banyak juga yang cinta rakyat Indonesia dan membela tanah air serta meleburkan diri secara total. Kepada mereka tidak layak disebut Hoakiau tetapi saudara sebangsa dan se tanah air. Antara lain, mendiang Yap Thiam Hien, yang berani menegakkan keadilan hukum di Indonesia. Ada pula Haji Abdul Karim Oey, tokoh pembauran, Bapak Tjeng Hien (Direktur PT Bintang Tujuh), sesepuh PITI. Juga, Bapak HM Syafi'i Antonio, M.Sc., pakar keuangan Islam, dan banyak lagi lainnya.

Kekuatan para Hoakiau yang sedemikian kuat dan besar, tidak saja menimbulkan kecemburuan, namun pada akhirnya merugikan pemerintah itu sendiri. Orde Baru yang sudah begitu banyak memberikan "surga" kepada mereka, kenyataannya harus menerima kenyataan buruk, antara lain terjadinya pemberontakan ekonomi, terjadinya capital flight dan capital drain yang menyebabkan krisis dan kemelaratan secara nasional

Pemerintah, siapapun dia, sudah seharusnya belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Rakyat sudah cukup menderita dimpimpin oleh dua diktator. Semoga tidak akan muncul diktator ketiga dan seterusnya.

Diposting di milis tionghoa-net pada 15 November 1999

Hoakiau di Malaysia

Rachmat Basuki Soeropranoto (rbs@operamail.com)

PADA tahun 1850 hanya ada 3 orang Cina di Malaysia. Dengan berkembangnya tambang timah di Selangor maka tahun 1872 masuk sampai 40.000 orang Cina. Dengan berkembangnya industri karet sesudah 1905 datang berbondong-bondong orang-orang Cina menjadi buruh kebon karet.

Walaupun semula buruh-buruh itu tidak bermaksud menetap di Malaysia, hanya sekedar mencari rizki, namun setelah Perang Dunia II sebagian besar orang Cina itu menetap di Malaya. Mereka akhirnya punya Kepala Masyarakat sendiri yang disebut "Kapitan Cina" yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial waktu itu untuk menjaga tertib hukum di kalangan Cina Hoakiau setempat. Walau resminya ditunjuk oleh pemerintah tetapi di dalam prakteknya dipilih dan diajukan dahulu oleh para ketua kelompok Hoakiau.

Secara berangsur-angsur pemerintah kolonial di Malaya ketika itu berusaha untuk mengawasi orang-orang Cina Hoakiau terutama yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan seperti pelacuran, percanduan, perjudian, pemerasan, perampokan, dan perkumpulan rahasia.

Dengan tradisi sebagai kekaisaran yang amat luas selama ribuan tahun, perkumpulan rahasia dalam masyarakat Cina mempunyai kaitan erat dengan kegiatan politik yang menumbangkan satu dinasti dan membangkitkan dinasti baru. Lahirnya Kuomintang di daratan Cina, juga adalah dari perkumpulan rahasia menentang kekuasaan Manchu. Dr. Sun Yat Sen yang lahir sebagai pemimpin revolusi Tiongkok berasal pula dari perkumpulan rahasia. Sun Yat Sen
mengadakan kunjungan berkali-kali ke Malaya antara 1900 - 1911. Setelah Kuomintang lahir, cabangnya didirikan di Singapura sebagai wadah Cina Hoakiau.

Peranan orang-orang Cina Hoakiau di bidang ekonomi sangat besar. Yang semula mereka hanya berperanan di dalam perkebunan dan pertambangan selaku buruh, akhirnya meningkat kepada perdagangan eceran dan pengangkutan. Dari sini mereka mengembangkan diri kepada pengolahan karet, perbankan, pengerukan timah dan industri modern. Bahkan mereka menanam modal pula di dalam perusahaan-perusahaan Eropa.

Walaupun peranan ekonomi penduduk Cina Hokaiau di Malaysia cukup besar, tetapi tidak sebesar peranan ekonomi penduduk keturunan Cina di Indonesia yang hampir mendominasi seluruh kegiatan ekonomi. Hal tersebut terutama disebabkan oleh adanya kebijakan peranan ekonomi orang-orang Melayu (Bumiputra) di Malaysia, berupa:

1. Mengatur kembali ekonomi masyarakat dan ekonomi Malaysia menjelang 1990. Tujuannya adalah untuk melaksanakan suatu formula 30-40-40. Artinya, pemilikan modal oleh perusahaan pribumi 30% sedangkan 40% lainnya oleh etnis lain (Cina dan India), dan 30% modal asing.

2. Pengerahan tenaga buruh dalam setiap tahap dan setiap sektor ekonomi harus mencerminkan komposisi proporsional, sehingga setiap kelompok ras akan memperoleh pemilikan secara maksimal berdasar bagian masing-masing dan mencegah terjadinya penyerobotan atas hak satu etnis oleh etnis lainnya.

Adanya kebijakan pemerintah Malaysia mengenai penataan kembali komposisi ekonomi nasionalnya, merupakan suatu tindakan yang terpuji, karena dapat menyelesaikan masalah ketidak-adilan rasial, dan mencegah terjadinya penjajahan ekonomi oleh para Hoakiau.

Diposting di milis tionghoa-net, 15 November 1999

Komunitas China Miniatur Indonesia


Oleh : Tontowy Djauhari Hamzah
(hamzah@dnet.net.id)

KOMUNITAS China pada berbagai sisi justru terlihat lebih mendekati miniatur Indonesia dibanding komunitas lainnya. Dari sudut kultur/bahasa misalnya, kita akan menemui komunitas China yang berbahasa Jawa (bahkan berbudaya Jawa) di kawasan Pulau Jawa, sebagaimana bisa kita lihat pada sosok Liem Swie King (pebulutangkis) yang medok, juga Jaya Suprana, pengusaha Jamu yang tidak bisa menggunakan sumpit dan fasih berbahasa Jawa halus.

Dari Sumatera ada Anton Medan, mantan preman yang kini jadi juru dakwah agama Islam, ada juga Sofyan Wanandi kelahiran Sumatera Barat, yang masih kental logat Sumbar-nya meski bertahun-tahun tinggal di Jakarta. Bahkan hampir di tiap daerah kita bisa menemukan etnis China dengan kultur dan bahasa setempat. Bahkan dengan nama setempat.

Dari sudut profesi juga demikian. Memang yang menonjol dari komunitas China ini adalah pedagang, namun pada kenyataannya, komunitas ini bergerak di berbagai bidang keprofesian, meski tidak terlalu menonjol namun cukup signifikan untuk menyatakan adanya pluralitas dalam profesi mereka.

Sebagaimana pernah diungkapkan oleh TEMPO edisi 22 Februari 1999, komunitas China tidak hanya memiliki tokoh-tokoh seperti Liem Sioe Liong dan sebagainya, juga ada tokoh-tokoh idealis seperti Christianto Wibisono, Arief Budiman dan Soe Hok Gie. Bahkan pada generasi yang lebih mudanya bisa ditemui Esther Indahyani Yusuf, dan Enin Supriyanto.

Dari sudut agama juga demikian. Hampir semua agama formal yang berlaku di Indonesia ini memiliki penganut dari etnis China. Meskipun sebagian besar beragama non-Islam. Namun demikian tokoh keturunan China yang beragama Islam cukup mendapat tempat yang terhormat, seperti Prof. Hembing, dan Syafi'i Antonio yang sangat memahami seluk-beluk perbankan Islam.

Dari beberapa sudut pandang ini, bisa dikatakan komunitas China merupakan miniatur dari bangsa Indonesia yang majemuk. Dari segi jumlah, komunitas China tidak kalah potensialnya, karena mencapai sekitar 9 juta Jiwa, bandingkan dengan komunitas Timtim yang cuma 750.000 jiwa dan lebih homogen dalam hal agama (Katholik).

Keberagaman yang menjadi bagian dari komunitas China di Indonesia, sayangnya tidak tersosialisasikan secara baik. Entah siapa yang melakukan disinformasi tentang ini. Dan entah apa maksudnya. Yang jelas, komunitas China diidentikkan dengan atribut-atribut seperti:

1. Pedagang
2. Kaya
3. Non Islam (khususnya Kristen/Katholik)
4. Eksklusif

Sebaliknya, komunitas China juga mendapat pasokan informasi yang keliru tentang pribumi, yang selalu diidentikkan dengan sifat-sifat pemalas, tidak jujur, Islam, kampungan dan sebagainya. Kesalah-pahaman itu tentu saja kalau terus dibiarkan akan menciptakan suasana yang kurang nyaman, bahkan lebih jauh dari itu. Oleh karena itu perlu adanya sebuah forum terbuka yang mengklarifikasikan hal ini.

Komunitas China sudah berada di kawasan Nusantara ini sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum kawasan Nusantara ini dijajah Belanda. Berarti komunitas China punya hak yang sama dengan komunitas lainnya, yang ketika itu sama-sama bukan warga negara Indonesia, karena negara Republik Indonesia belum terbentuk. Dari sudut pandang ini, maka bisa dikatakan bahwa kita semua adalah nonpri, karena nenek moyang kita bukan warga negara Indonesia, sebab Negara RI baru ada sejak 17 Agustus 1945.

Nilai-nilai Islam menegaskan bahwa bumi ini ciptaan Tuhan, dan siapa saja berhak menarik manfaat darinya. Nabi Muhammad adalah penduduk Mekkah yang kemudian berpindah (hijrah) ke Madinah. Di Madinah, Nabi Muhammad adalah nonpri, yang pada akhirnya bisa menjadi pemimpin umat (semacam kepala negara) di sana, karena memang rakyat banyak memilihnya (bukan hanya kerabat-teman yang ikut hijrah bersamanya).

Jadi, masalah komunitas China di Indonesia lebih banyak bertumpu kepada adanya kesalah-pahaman diantara kedua-belah pihak. Sayangnya, kondisi salah-paham seperti itu justru dipelihara oleh sebuah kepentingan, sehingga komunitas China cenderung manjadi sasaran pelampiasan kekecewaan masyarakat (pribumi) terhadap kondisi sosial-politik yang terjadi.

Oleh karena itu kesalah-pahaman inilah yang harus dikikis. Perlu adanya forum terbuka seperti CNN, perlu adanya sebuah parpol yang agenda utamanya menangani masalah ini, perlu ada media cetak yang juga concern terhadap masalah ini.
(posting di milis tionghoa-net pada Senin, 8 November 1999)


Bhinneka Bahasa, Bhinneka Bangsa

Bhinneka Bahasa, Bhinneka Bangsa

Oleh : Abdullah Hasan dan Iwan Samariansyah

HARI-hari ini, bangsa kita tampaknya perlu merenung panjang. Setelah kita putuskan memberi kesempatan pada komunitas manusia di ujung timur Pulau Timor untuk mendirikan negara sendiri, kini kita dihadapkan pada tuntutan yang semakin mengeras di berbagai sudut provinsi tanah air. Di ujung barat Pulau Sumatera khususnya di Aceh, ribuan orang Aceh meminta
referendum, meminta tanah air sendiri.

Di tengah kepulauan, tepatnya di Makassar, ribuan mahasiswa berpawai mendeklarasikan Sulawesi Merdeka. Dan di ujung utara pulau yang sama, tepatnya di Manado, nada-nada
ketidakpuasan semakin santer terdengar. Dan masalah-masalah lama di Irian Jaya dan Maluku dan tentu saja Riau masih saja terus menghantui kita semua.

Siapa "kita" ini ? Siapa sebetulnya bangsa Indonesia itu ? Dan bagaimana seharusnya sikap "kita" mencermati persoalan-persoalan tersebut ? Mencari kembali identitas diri bangsa. Kurang lebih seperti itulah yang terjadi sekarang. Puluhan tahun berbagai komunitas bangsa merasa haknya diambil entah oleh siapa. Revolusi dahsyat telah mengembalikan berbagai hal kepada kita. Kita sekarang bisa bicara, bisa tidak setuju, bisa marah, bisa ngambeg.

Boleh berpikir dewasa, boleh pula ngawur. Boleh bergerombol, boleh menyendiri. Dalam sekejap yang semula solid sewarna jadi mosaik. Masing-masing molekul bangsa menyalakan garis batas terang pada sekeliling.

Apa urusan anda? Tiba-tiba ada semacam kekuatan menantang bisa keluar terhadap sorot keberatan ketika kita sedang ngomong Jawa. Atau ketika pakai sarung dan kopiah haji. Demikian pula dari bagian mosaik lain muncul kesadaran yang sama. Kesadaran akan hak. Kesadaran baru pada kebhinnekaan. Pengalaman riil memaksa kita untuk menghayati Kebhinekaan yang baru kita ketahui sebatas slogan.

Mulai dari jumlah partai yang membuat "kepala seragam" kita puyeng. Sampai pada kesulitan kita melihat kenyataan perbedaan pandangan diluar punya kita. Dengan mengambil contoh ekstrim: Kok Golkar bisa mendapat 20 % ?! Kok sirik ya pada Amien Rais ? Kok ada yang tidak suka Megawati ? Kesulitan-kesulitan semacam itu seringkali menyesatkan. Kita masih sering memaksa melihat "rakyat" sebagai rakyat. Molekul mosaik milik kita sebagai keseluruhan.

Kalau tidak keliru, kita menangkap kita menangkap nuansa untuk berbeda dalam konteks kesadaran baru itu. Malahan lebih jauh, bukan sebatas bahasa kita bhinneka malahan dalam bangsa. Artinya kita ini terdiri dari bermacam suku -- bahkan bangsa -- yang karakter dasarnya bisa jadi amat berbeda.

Seyogyanya kita harus segera menuju pemahaman kepada antar bahasa yang lebih dalam. Maksudnya menuju pemahaman antar (suku) bangsa yang lebih dalam. Penghayatan yang lebih dalam pada bhinneka tersebut. Tentunya penghayatan pada kebhinnekaan bukan berarti menuju peleburan. Orang Jawa tidak mungkin jadi Sunda. Orang Bali tidak akan
jadi China atau Bugis. Demikian seterusnya. Batak tetap Batak. Orang Banjar tetap orang Banjar, dengan segala adat istiadatnya.

Buat apa semua pemahaman itu? Secara cepat, secara "slogan" mungkin kita akan berkata : menuju persatuan bangsa ! Tapi mungkin ada yang mesti diisi dulu. Ada sesuatu yang terputus antara pemahaman sampai persatuan. Sebagian besar diantara kita belum bisa makan cukup, belum punya teduhan yang manusiawi. Atau punya ketenangan kepastian pendapatan. Apalagi soal seperti pendidikan atau kesehatan. Kebutuhan persatuan bangsa yang hakiki adalah kebutuhaan rasionil tingkat lanjutan.

Ekstrimnya, kebutuhan akan Eropa Bersatu baru mengental setelah kemakmuran tingkat tinggi tercapai diantara negara-negara bagiannya. Tidak usah sejauh itu. Tapi apakah hal itu bisa dicapai ketika sebagian besar bangsa-bangsa kita masih hidup amat melarat. Tingkat kehidupan
yang amat tidak pantas diterima oleh species manusia saat ini. Millenium Baru ! ?

Pengakuan existensi masing-masing molekul bangsa. Penghargaan pada kemanusiaan. Menghilangkan segala rintangan untuk mengatur kehidupan sendiri. Dorongan dan support kegiatan ekonomi yang sehat. Peningkatan kesejahteraan. Percepatan peningkatan kwalitas dan kwantitas pendidikan nasional untuk mencerdaskan bangsa. Hal-hal seperti itu mungkin akan
mempercepat kelahiran kebutuhan persatuan secara alami.

Untuk sementara, meskipun semu, persatuan yang ada, haruslah dengan sabar dijaga sejauh
mungkin. Bila kebutuhan tiba, jangan sampai kita sudah tidak punya apa-apa. Apakah begitu ya?

Jakarta, 8 November 1999,
Dua hari Menjelang Hari Pahlawan