22 Juli 2007

Hoakiau di Malaysia

Rachmat Basuki Soeropranoto (rbs@operamail.com)

PADA tahun 1850 hanya ada 3 orang Cina di Malaysia. Dengan berkembangnya tambang timah di Selangor maka tahun 1872 masuk sampai 40.000 orang Cina. Dengan berkembangnya industri karet sesudah 1905 datang berbondong-bondong orang-orang Cina menjadi buruh kebon karet.

Walaupun semula buruh-buruh itu tidak bermaksud menetap di Malaysia, hanya sekedar mencari rizki, namun setelah Perang Dunia II sebagian besar orang Cina itu menetap di Malaya. Mereka akhirnya punya Kepala Masyarakat sendiri yang disebut "Kapitan Cina" yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial waktu itu untuk menjaga tertib hukum di kalangan Cina Hoakiau setempat. Walau resminya ditunjuk oleh pemerintah tetapi di dalam prakteknya dipilih dan diajukan dahulu oleh para ketua kelompok Hoakiau.

Secara berangsur-angsur pemerintah kolonial di Malaya ketika itu berusaha untuk mengawasi orang-orang Cina Hoakiau terutama yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan seperti pelacuran, percanduan, perjudian, pemerasan, perampokan, dan perkumpulan rahasia.

Dengan tradisi sebagai kekaisaran yang amat luas selama ribuan tahun, perkumpulan rahasia dalam masyarakat Cina mempunyai kaitan erat dengan kegiatan politik yang menumbangkan satu dinasti dan membangkitkan dinasti baru. Lahirnya Kuomintang di daratan Cina, juga adalah dari perkumpulan rahasia menentang kekuasaan Manchu. Dr. Sun Yat Sen yang lahir sebagai pemimpin revolusi Tiongkok berasal pula dari perkumpulan rahasia. Sun Yat Sen
mengadakan kunjungan berkali-kali ke Malaya antara 1900 - 1911. Setelah Kuomintang lahir, cabangnya didirikan di Singapura sebagai wadah Cina Hoakiau.

Peranan orang-orang Cina Hoakiau di bidang ekonomi sangat besar. Yang semula mereka hanya berperanan di dalam perkebunan dan pertambangan selaku buruh, akhirnya meningkat kepada perdagangan eceran dan pengangkutan. Dari sini mereka mengembangkan diri kepada pengolahan karet, perbankan, pengerukan timah dan industri modern. Bahkan mereka menanam modal pula di dalam perusahaan-perusahaan Eropa.

Walaupun peranan ekonomi penduduk Cina Hokaiau di Malaysia cukup besar, tetapi tidak sebesar peranan ekonomi penduduk keturunan Cina di Indonesia yang hampir mendominasi seluruh kegiatan ekonomi. Hal tersebut terutama disebabkan oleh adanya kebijakan peranan ekonomi orang-orang Melayu (Bumiputra) di Malaysia, berupa:

1. Mengatur kembali ekonomi masyarakat dan ekonomi Malaysia menjelang 1990. Tujuannya adalah untuk melaksanakan suatu formula 30-40-40. Artinya, pemilikan modal oleh perusahaan pribumi 30% sedangkan 40% lainnya oleh etnis lain (Cina dan India), dan 30% modal asing.

2. Pengerahan tenaga buruh dalam setiap tahap dan setiap sektor ekonomi harus mencerminkan komposisi proporsional, sehingga setiap kelompok ras akan memperoleh pemilikan secara maksimal berdasar bagian masing-masing dan mencegah terjadinya penyerobotan atas hak satu etnis oleh etnis lainnya.

Adanya kebijakan pemerintah Malaysia mengenai penataan kembali komposisi ekonomi nasionalnya, merupakan suatu tindakan yang terpuji, karena dapat menyelesaikan masalah ketidak-adilan rasial, dan mencegah terjadinya penjajahan ekonomi oleh para Hoakiau.

Diposting di milis tionghoa-net, 15 November 1999

Tidak ada komentar: