31 Juli 2007

THHK, Baperki dan Nation-Building


Kaum Tionghoa Juga Nasionalis !

Oleh: Siauw Tiong Djin

NATION Building merupakan proses terpenting dalam mengkonsolidasi kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia. Republik Indonesia yang tidak ber-bangsa tentunya bukan negara. Yang dimaksud dengan bangsa di sini bukanlah ras -- karena dunia tidak mengenal adanya Indonesian ras -- melainkan Indonesian Nation (Bangsa Indonesia) – yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa yang ternyata merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia.

Dalam konteks Nation-Building inilah tulisan ini dipersembahkan untuk menganalisis sumbangsih dua organisasi yang didirikan dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh peranakan Tionghoa.

Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK)
Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) – Rumah Perkumpulan Tionghoa – didirikan pada tahun 1900 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia (Jakarta). Tujuan utama para pendirinya adalah mendorong orang Tionghoa yang bermukim di kawasan Hindia Belanda (nama Indonesia ketika ia dijajah oleh Belanda) untuk mengenal identitas-nya. Mereka menginginkan masyarakat Tionghoa yang sudah bergenerasi hidup di Hindia Belanda mengenal kebudayaan Tionghoa sehingga mereka bisa bersatu sebagai satu kelompok masyarakat yang dihormati oleh penjajah Belanda.

Proses pengenalan kebudayaan atau pencarian identitas yang ditempuh oleh para pendiri THHK adalah penyebar-luasan ajaran Khong Hu Cu, ajaran atau “agama” yang dijunjung oleh masyarakat Tionghoa baik di dalam maupun di luar Tiongkok pada waktu itu.

Pengertian bangsa Tionghoa tentunya berkaitan dengan Chinese Race, karena memang pada waktu itu, persoalan negara dan bangsa belum jelas. PembentukanTHHK mendahului pembentukan Republik Tiongkok yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen.

Lahirnya THHK membuahkan beberapa sikap penting dalam sejarah Indonesia. Para pendiri THHK memutuskan untuk menyebar luaskan ajaran Khong Hu Cu ini melalui jalur pendidikan. Berdirilah sekolah-sekolah THHK di berbagai kotabesar di Hindia Belanda. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Kuo Yu – Mandarin. Guru-guru lulusan Tiongkok dan berbagai tempat lainnya di “import” untuk mengajar dengan program pendidikan modern yang secara keseluruhan bersandar pada apa yang berkembang di Tiongkok. Melalui program ini, ajaran Khong Hu Cu disebar luaskan pula.

Usaha semacam ini tentunya disambut oleh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, baik mereka yang berasal dari kelompok peranakan (yang sudah bergenerasi di Hindia Belanda) maupun yang berasal dari kelompok totok (yang lahir di Tiongkok). Sekolah-sekolah THHK berkembang pesat dan jumlah pelajarnya meningkat dengan hebat. Karena bahan-bahan pelajaran diambil dari Tiongkok, masyarakat Tionghoa yang berhubungan dengan THHK, termasuk generasi mudanya, terdorong untuk berkiblat ke Tiongkok dan mengenal, bahkan mendukung, nasionalisme Tiongkok.

Perkembangan yang sangat mempengaruhi jalan berpikir masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda ini mengkhawatirkan pemerintahan Belanda. Inilah yang menyebabkan mereka membuka sekolah-sekolah Belanda khusus untuk masyarakat Tionghoa pada awal abad ke 20. Tujuannya adalah menarik sebanyak mungkin siswa Tionghoa supaya pengaruh nasionalisme Tiongkok bisa berkurang.


Dalam konteks perwujudan identitas Tionghoa di Hindia Belanda, para pendiri THHK berhasil. Masayarakat Tionghoa, terutama peranakan dan generasi mudanya, mengenal lebih baik ajaran Khong Hu Cu dan kebudayaan Tionghoa. Walaupun pengenalan identitas Tionghoa di dalam kalangan peranakan Tionghoa tidak berubah menjadi keinginan untuk “kembali” ke Tiongkok, ia merupakan faktor penting dalam proses pembangunan bangsa – nasion Indonesia, yang oleh sementara sejarahwan dikatakan terbentuk pada tanggal 21 Mei 1908.

Ke–Tionghoaan masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kekhususan karena ia sangat dipengaruhi alam dan kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Dan ia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nasion Indonesia.

Selain penemuan identitas Tionghoa dan ke-Tionghoaan ala Hindia Belanda (Indonesia), THHK juga berhasil melahirkan sebuah istilah yang memiliki makna penting. THHK merupakan organisasi pertama yang memperkenalkan dan menyebar-luaskan penggunaan istilah Tionghoa (menurut dialek Hokkian) atau Chung Hua (menurut dialek Mandarin) untuk masyarakat Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, menggantikan istilah “China”.

Istilah Tionghoa dipergunakan oleh para pejuang revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Sun Yat Sen. Pada waktu Sun Yat Sen mendeklarasikan pembentukan Republik Tiongkok pada tahun 1911, istilah “Tionghoa” resmi dipergunakan untuk bangsa dan bahasa Tionghoa. Keberhasilan revolusi Tiongkok yang didasari oleh nasionalisme Tionghoa ini, dikatakan oleh banyak sejarawan sebagai pendorong bangkitnya nasionalisme Indonesia di awal abad ke 20.

Oleh karena itu, para pejuang nasionalis Indonesia-pun segera menganut istilah “Tionghoa” sebagai istilah perjuangan. Bagi para pejuang nasionalis Indonesia, istilah “Tionghoa” memiliki makna yang sama dengan istilah “Indonesia” yang kemudian diterima sebagai istilah pemersatu perjuangan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa istilah “Tionghoa” digunakan oleh masyarakat Indonesia dan pemerintah RI, hingga pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan pada tahun 1966 untuk menggantinya dengan istilah “China”, sebuah istilah yang di Indonesia mengandung konotasi penghinaan terhadap golongan Tionghoa.

Pengaruh THHK dalam kalangan peranakan Tionghoa berangsur berkurang pada tahun 1930-an, karena program pendidikannya dianggap kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Tionghoa di zaman penjajahan. Pengaruh dan perannya boleh dikatakan hilang setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945. Walaupun demikian, ia telah meninggalkan sebuah warisan sejarah, yaitu identitas ke-Tionghoaan Indonesia, yang oleh sebuah organisasi massa besar di zaman yang berbeda, dianggap sebagai bagian penting dari nasion Indonesia.

Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)
Pada tahun 1954 organisasi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa. Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan pada masa itu bukan lagi identitas ke-Tionghoa-an. Yang mereka hadapi adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang. Ini lalu membangkitkan perjuangan mempercepat Nation-Building dan menentang rasialisme.

Perbedaan fundamental antara Baperki dan THHK terletak pada program kerjanya. THHK, seperti banyak organisasi Tionghoa lainnya, menitikberatkan program pendidikan dan sosial. Sedangkan Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.

Baperki menekankan bahwa dengan terbentuknya Republik Indonesia, terwujud pula secara resmi bangsa atau nasion Indonesia. Baperki mempertegas bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang beraneka ragam kebudayaan serta adat istiadat-nya. Bertolak dari semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu), Baperki mendorong diterimanya golongan yang ke-Tionghoaannya terwujud dan berkembang di Indonesia ini sebagai bagian yang tidak terpisah dari nasion Indonesia.

Para tokoh Baperki kemudian mengembangkan prinsip ini dengan paham integrasi. Mereka menganjurkan golongan Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya dalam semua tingkat kegiatan Indonesia, sehingga aspirasi rakyat Indonesia menjadi aspirasi golongan Tionghoa. Mereka mempertegas bahwa untuk ini, suku Tionghoa, sama halnya dengan para suku lainnya, tidak perlu menanggalkan ke-Tionghoaannya, baik dari segi biologis maupun kebudayaan. Persatuan, bagi mereka, tidak berarti semua golongan yang ada dipaksa untuk meleburkan dirinya ke dalam tubuh pihak mayoritas.

Dengan sendirinya mereka menentang paham asimilasi yang dikembangkan pada awal tahun 1960-an. Pihak yang melahirkan konsep asimilasi menghendaki golongan Tionghoa menanggalkan atau mencampakkan ciri-ciri ke-Tionghoaan sehingga di suatu saat, golongan Tionghoa “lenyap” dari permukaan bumi Indonesia.

Usaha membangun bangsa – Nation Building, menurut Baperki, harus dikaitkan dengan kewarganegaraan Indonesia. Kewarganegaraan Indonesia-lah yang memberi makna hukum keberadaan Nasion Indonesia. Bilamana pengertian ini dihayati, Baperki berargumentasi, diskriminasi rasial tidak akan bisa dilegitimasikan, karena setiap Warga Negara Indonesia tentunya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kewarganegaraan Indonesia tidak mengenal asal usul keturunan, agama dan status sosial-nya.

Baperki juga berpendapat bahwa nasion Indonesia hanya bisa dikonsolidasi perwujudannya bilamana ia berkembang sebagai nasion yang makmur. Kemakmuran itu, menurut Baperki, hanya bisa dicapai bilamana Indonesia menempuh jalur sosialisme, di mana funds dan resources dikerahkan sepenuhnya untuk mempertinggi taraf hidup rakyat terbanyak.

Dalam konteks ini, Baperki mendesak pemerintah RI untuk mendukung setiap usaha pengembangan kegiatan dagang dan produksi domestik, tanpa mendiskriminasikan siapa pemilik modal domestik. Dengan sendirinya Baperki menentang setiap usaha sementara pemimpin pemerintah RI yang pada tahun 1950-an melakukan berbagai kebijakan yang menindas atau membatasi pengembangan modal milik pedagang-pedagang Tionghoa.

Situasi politik di masa hidup Baperki memang memungkinkan organisasi ini mengerahkan massa-nya untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Para pemimpinnya duduk di dalam badan-badan legislatif dan Yudikatif. Ketua umum- nya Siauw Giok Tjhan diketahui sangat dekat dengan para tokoh pemerintahan yang berpengaruh, sehingga banyak program Baperki pada zaman-zaman demokrasi parlementer (1954-1959) dan demokrasi terpimpin (1959-1965) masuk di dalam berbagai UU dan GBHN (garis Besar Haluan Negara).

Baperki belajar dari THHK. Kegiatan sosial harus dikaitkan dengan usaha dalam dunia pendidikan. Pada akhir tahun 1950-an, Baperki berhasil mendirikan dan menjalankan ratusan sekolah di berbagai kota besar. Usaha ini kemudian dilanjutkan dengan pendirian universitas di Jakarta, Surabaya, Semarang,Malang, Solo dan Medan.

Akan tetapi program pendidikan Baperki berbeda dengan apa yang dijalankan THHK. Kalau THHK banyak bersandar pada program pendidikan Tiongkok, Baperki menitik beratkan kurikulum nasional. Dan, Baperki mendorong pendidikan politik di sekolah-sekolahnya. Para siswa dan mahasiswa Baperki didorong untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik nasional untuk mempercepat proses Nation-Building.

Kegigihan Baperki dalam memperjuangkan proses Nation Building ini menyebabkan Presiden Soekarno berulangkali menyatakan bahwa Baperki adalah salah satu organisasi massa yang patut dijadikan teladan. Dan Baperki tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai organisasi massa Tionghoa yang paling berhasil dalam memobilisasi masyasrakat Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya.

Hancurnya kekuasaan Presiden Soekarno pada tahun 1966 diikuti dengan munculnya kekuatan baru, yang dipimpin oleh Jendral Soeharto, yang merajalela selama 32 tahun. Baperki-pun dibubarkan oleh kekuasaan Orde baru. Walaupun kekuasaan Orde Baru senantiasa mencanangkan slogan persatuan dan kesatuan bangsa, proses Nation Building yang dengan gigih diperjuangkan oleh Baperki secara sistimatis dihentikan. Bahkan perkataan Nation Building saja lenyap dari perbendaharaan kata politik.

Prospek di Masa Depan
Perkembangan politik belakangan ini cukup menyejukkan. Kehadiran GusDur didalam pemerintahan RI telah memungkinkan suku Tionghoa di Indonesia merayakan tahun baru Imlek -- tahun baru orang Tionghoa – secara terbuka untuk pertama kalinya dalam 32 tahun.

Perayaan-perayaan tahun baru Imlek pada bulan Februari 2000 di kota-kota besar Indonesia berjalan lancar. Untuk pertama kalinya dalam 32 tahun, masyarakat Indonesia bisa menikmati pertunjukan Liang Liong dan Barongsai secara besar-besaran. Yang mencolok, perayaan besar-besaran ini berlangsung tanpa kerusuhan, tanpa gangguan masyarakat. Yang lebih penting lagi, mereka jelas dinikmati oleh semua orang yang berpartisipasi, baik yang berasal dari suku Tionghoa maupun yang berasal dari berbagai suku lainnya.

Ini menunjukkan bahwa Rakyat Indonesia disamping memiliki toleransi terhadap berbagai perbedaan, juga menghargai adat istiadat serta kebiasaan yang dianut oleh suku-suku lainnya. Kelancaran perayaan-perayaan tersebut di atasjuga membuktikan bahwa benih-benih rasialisme yang melekat di dalam benak banyak orang – akibat kebijakan “divide and rule” penjajah Belanda --bisa dikesampingkan untuk mendemonstrasikan penghargaan terhadap berbagai perbedaan.

Ini juga membuktikan bahwa ledakan-ledakan rasialisme yang terjadi selama ini di”sulut” atau direkayasa oleh pihak-pihak yang menginginkan proses pembangunan bangsa – Nation Building – terhenti.

Memang sebaiknya kita tidak “menghidupkan” kembali perdebatan antara paham integrasi dan paham assimilasi. Yang penting adalah mengakui bahwa perbedaan di dalam tubuh bangsa Indonesia itu ada dan akan terus ada. Perbedaan tidak seharusnya dipaksa untuk lenyap, karena tindakan ini merupakan kelaliman yang patut dikutuk. Jalan keluarnya adalah memupuk keinginan untuk bahu membahu membangun Indonesia tanpa memusingkan latar belakang race, agama maupun aliran politik. Proses rekonsiliasi di bawah pimpinan GusDur, tampaknya berjalan, walaupun perlahan.

Perkembangan ini harus digunakan oleh para pejuang reformasi untuk “menggalakkan” dan mempercepat Nation Building sehingga bangsa Indonesia bisa kembali berkembang sebagai bangsa yang memiliki kekuatan dalam mengisi kemerdekaan dan mencapai kemakmuran yang diidam-idami.

Dipostingkan oleh indochinese@joymail.com, pada 25 Februari 2000