29 Juli 2007

Wayang dan Barongsai

Dua Tradisi Simbolik ala Indonesia

Daniele Setiawan
(daniele@cabi.net.id)

WAYANG konon merupakan kesenian dari luar, yang dibawa masuk dengan semangat ajaran Hindu, kemudian menjadi bagian dari kesenian tradisional. Perkembangan selanjutnya, wayang yang telah menjadi kesenian tradisional kemudian dijadikan media untuk memasyarakatkan agama Islam, antara lain oleh para Walisongo, dan berhasil. Jadi, wayang sudah lebih dulu memasyarakat sebelum agama Islam itu sendiri memasyarakat.

Dan kenyataannya, tiga dari sembilan wali itu adalah etnis Tionghoa, bahkan bisa disebut hanya satu saja yang pribumi. Ini berarti sudah sejak awal etnis Tionghoa sudah berperanan di kawasan Nusantara ini, termasuk memasyarakatkan agama Islam.

Barongsai juga demikian. Sebagai kesenian dari luar, ia sebenarnya sudah diterima sebagai saudara sendiri. Misalnya, masyarakat Tangerang menyebut kesenian barongsai tersebut sebagai: "…kesenian dari daerah kami, karena memang dari dulu sudah ada…" Mereka tidak menyebutnya sebagai kesenian dari negeri China.

Tidak hanya barongsai yang sudah diterima, juga tradisi lainnya. Misalnya di kalangan komunitas Betawi, pada saat Cap Go Meh, pernah berlaku tradisi membeli ikan bandeng untuk dikirimkan ke rumah calon mertua. Dalam rangka mengambil hati calon mertua tentunya. Ada
keselarasan tradisi antara Cap Go Meh dengan musim merayu calon mertua. Untuk hal ini barangkali Pak Ridwan Saidi dapat menjelaskan lebih jelas lagi.

Dalam hal busana juga demikian. Ada kebaya encim. Ada kerah China untuk baju koko (atau baju takwa) yang dijadikan busana untuk bersembahyang bagi kalangan Islam. Ada kecap, ada bakso, ada tauco, ada bakpao, ada siomay, ada capcay, untuk makanan. Bahkan untuk obat-obatan, terdapat puluhan atau bahkan ratusan obat-obatan tradisional cina yang lebih
digemari masyarakat luas.

Bahkan untuk hal-hal yang tidak jelas kechinaannya, seperti Kungfu, tetap digemari oleh masyarakat luas, dan bahkan masyarakat tetap percaya bahwa kungfu itu identik dengan china. Padahal kungfu belum tentu ada di china. Ia baru populer setelah para produser film di Hongkong dan Hollywood mempopulerkan seni beladiri ini melalui movie, dengan tokohnya Bruce Lee.




Kesimpulannya, etnis Tionghoa sudah sejak awal ikut menyebarkan agama Islam, agama yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tradisi China tidak mengalami penolakan, bahkan terjadi keselarasan. Makanan, obat-obatan, dan busana Cina diterima dengan baik, bahkan untuk busana beribadah (sembahyang) sekalipun. Dan ini berarti telah terjadi
pembauran yang sempurna diantara masyarakat Tionghoa dan non Tionghoa di kawasan Nusantara ini.


Lalu mengapa masih ada masalah pembauran (atau asimilasi)? Lalu mengapa masih ada tindak kekerasan yang menyebabkan etnis Tionghoa sebagai korban utamanya? Mengapa hal itu tidak terjadi pada non pribumi keturunan India (Hindu) dan Arab serta Eropa? Mengapa orang-orang Jepang (sebagai orang asing) leluasa mengembangkan bisnisnya di Indonesia padahal mereka pernah menjajah Indonesia selama 3 tahun lebih?

Nampaknya, bukan pembauran atau asimilasi yang menjadi masalah, tetapi konflik diantara dua etnis, etnis Tionghoa pada satu sisi dan non Tionghoa pada sisi lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa Mei 1998 bisa terjadi, padahal pembauran berlangsung sempurna?

Masih pantaskah kita menyalahkan kolonialisme Belanda yang menerapkan politik divide et impera-nya sebagai penyebabnya? Atau, masih pantaskah kita menyalahkan orde baru yang menerapkan politik diskriminatifnya?

Atau untuk mudahnya, kita tuduh saja sejumlah nama (dan institusi) sebagai penyebab terjadinya konflik ini. Misalnya, Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Adi Sasono, Habibie, Prabowo, Beni Murdani, Ahmad Suwargono, Theo Syafei, Ali Moertopo, CSIS, KISDI, ICMI, Glostand, Kompas, Republika, Sams, Dave, Mustafa, Iming, Jim, dan sebagainya. Lalu kita rangkai cerita tentang itu semua.

Cara yang mudah memang, tapi sama sekali tidak menyelesaikan masalah (konflik). Nampaknya yang kita butuhkan adalah kesabaran dan kearifan. Kesabaran dan kearifan dalam mengenali permasalahan. Juga, kesabaran dan kearifan dalam merumuskan jalan keluarnya. Gontok-gontokan dan saling tuding cuma merugikan etnis Tionghoa.

Oleh karena itu, saya menilai imbauan agar etnis Tionghoa mengerti politik adalah relevan dan sangat tepat. Bahkan imbauan itu sangat relevan dan tepat pula bila ditujukan kepada segenap bangsa, seperti guru, karyawan swasta, pegawai negeri, petani, nelayan, mahasiswa, pelajar, dan sebagainya, sehingga kita semua tidak dijadikan objek politik. Sehingga kita semua tidak dipinteri sepanjang waktu.


Diposting pada 20 Februari 2000

Tidak ada komentar: